Palestina Gagal Raih Dukungan Liga Arab Soal Israel-UEA
Liga Arab mencabut draf resolusi yang mengutuk perjanjian kontroversial Israel-UEA
REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Para pemimpin Palestina memenangkan dukungan Arab Saudi pada Rabu (9/9). Namun, harus menerima kegagalan membujuk Liga Arab untuk mengutuk kesepakatan normalisasi antara Israel dan Uni Emirat Arab (UEA) pada bulan lalu.
Pada konferensi video para menteri luar negeri, pemimpin Palestina melunakkan kecamannya terhadap UEA atas kesepakatan 13 Agustus yang ditengahi AS dengan harapan mendapatkan lebih banyak dukungan negara Arab, tetapi tidak berhasil.
"Diskusi mengenai hal ini serius. Itu komprehensif dan memakan waktu. Tapi pada akhirnya tidak mengarah pada kesepakatan tentang rancangan resolusi yang diusulkan oleh pihak Palestina," kata Asisten Sekretaris Jenderal Liga Arab Hossam Zaki.
Menurut sumber diplomatik Palestina, Liga Arab mencabut draf resolusi yang mengutuk perjanjian kontroversial Israel-UEA. Duta Besar Palestina Muhannad Aklouk menyatakan setelah diskusi tiga jam, baik Palestina dan negara-negara Arab setuju untuk tidak memasukkan kecaman yang jelas terhadap kesepakatan UEA-Israel.
Namun, beberapa negara Arab mencoba menambahkan beberapa ketentuan untuk memberikan legitimasi pada perjanjian normalisasi. "Sebagai tanggapan, Palestina mengajukan rancangan resolusi yang mengutuk kesepakatan normalisasi UEA-Israel. Negara-negara Arab, bagaimanapun, menolak rancangan tersebut," kata Aklouk.
Aklouk pun menyatakan Palestina dan negara-negara Arab sepakat untuk memasukkan penekanan tentang komitmen terhadap Prakarsa Perdamaian Arab 2002, solusi dua negara, dan prinsip tanah perdamaian. Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Abul Gheit telah menekankan bahwa perjuangan Palestina akan terus menjadi subJek konsensus Arab dan Prakarsa Perdamaian Arab tahun 2002 tetap menjadi peta jalan untuk solusi yang adil.
"Tujuan yang dicari semua negara Arab kita, tanpa kecuali, adalah untuk mengakhiri pendudukan [Israel] dan mendirikan negara Palestina merdeka di perbatasan tahun 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya," kata Abul Gheit dikutip dari AlJazirah, Kamis (10/9).
Abul Gheit mengatakan untuk mencapai perdamaian yang komprehensif dan adil antara Arab dan Israel, Inisiatif Perdamaian Arab yang diadopsi pada KTT 2002 masih merupakan rencana dasar yang disepakati oleh dunia Arab. "Saya mengulangi penolakan kami atas rencana atau pengaturan yang disajikan secara internasional yang akan merusak hak Palestina, atau merugikan status kota Yerusalem, yang kasusnya harus diselesaikan dalam kerangka penyelesaian akhir," katanya.
Tapi Abul Gheit menyatakan setiap negara memiliki hak berdaulat dan tak terbantahkan untuk menjalankan kebijakan luar negerinya sesuai dengan keinginannya. Arab Saudi mengatakan mendukung semua upaya untuk mencapai solusi komprehensif untuk konflik Palestina-Israel.
Namun pernyataan yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Saudi atas pernyataan yang dibuat oleh Menteri Luar Negeri, Pangeran Faisal bin Farhan al-Saud, tidak menyebutkan secara langsung kesepakatan normalisasi antara Israel dan UEA. Pangeran Faisal hanya menyinggung Riyadh mendukung pembentukan negara Palestina berdasarkan perbatasan sebelum perang Timur Tengah 1967, dengan Yerusalem Timur yang diduduki sebagai ibu kotanya.