Pedagang yang Suka Mengamalkan Dzikir dan Wirid

Syekh Abdul Qadir al Jailani dikenal sebagai sufi yang mukhlis.

IST
Pedagang yang Suka Mengamalkan Dzikir dan Wirid. Foto: Sheikh Abdul Qadir Jailani
Rep: Syahruddin El Fikri Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Syekh Abdul Qadir al-Jailani dikenal sebagai pelaku sufi yang mukhlis (ikhlas). Ia juga rutin mengamalkan wirid dan zikir. Hal itu telah dilakukannya sejak masa muda hingga namanya makin masyhur. Kegiatan wirid dan zikir biasa dilakukan setelah shalat sunah, baik pada siang hari maupun malam hari. Namun demikian, ia juga sering melakukannya setelah shalat fardhu.

Muhammad Sholikhin, pemerhati dan penulis buku tentang Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan tarekat di Indonesia, mengatakan, shalat sunah yang biasa dikerjakan tokoh sufi ini setiap hari meliputi shalat tahajud (minimal 12 rakaat), shalat witir (3 rakaat), shalat fajar, shalat isyraq (setelah matahari terbit beberapa saat), shalat isti'adzah, shalat istikharah, shalat dhuha, shalat kaffarah li al-baul, dan shalat tasbih.

Sedangkan, zikir kesehariannya, kata dia, antara lain membaca Alquran paling sedikit 200 ayat, surah Al-Ikhlas 100 kali, shalawat 100 kali, sayyidul istighfar 100 kali, dan tahlil 100 kali. ''Kalau masih ada sisa waktu, digunakan untuk membaca Alquran serta menelaah kembali berbagai ilmu keislaman. Tentu saja semua itu di luar kesibukannya sebagai seorang wiraswastawan (pedagang kain sutra) sukses di Baghdad,'' ujarnya.

Solikhin menambahkan, seiring dengan semakin menyebarnya ajaran tasawuf yang dikembangkannya, lambat laun pencitraan terhadap dirinya hanya terbatas pada potret kesufiannya. Padahal, antara konsep teologi, fikih-ushul fikih, dan tasawuf menjadi seimbang pada pribadi, intelektualitas, atau pola akademis.

Sementara itu, J Spencer Trimingham (The Sufi Orders in Islam, New York, 1971) mencatat, salah satu kesuksesan besar atas reputasi syekh adalah menjadikan masyarakat biasa memiliki tanggung jawab untuk berpartisipasi dalam wawasan, pengetahuan, dan pengalaman-pengalaman kesufian. Sebuah prestasi yang jarang bisa dilakukan oleh imam-imam sufi sepanjang zaman.

Karya-karyanya
Karyanya yang paling masyhur adalah al-Ghunya li Thalibi Thariqi al-Haqq (Kecukupan bagi Pencari-pencari Kebenaran). Salah satu edisinya terbit di Mesir pada tahun 1288. Di dalamnya memuat khotbah sang sufi mengenai ibadah dan akhlak, cerita-cerita tentang etika, serta keterangan mengenai 73 aliran-aliran Islam yang terbagi dalam 10 bagian.

Intinya adalah pendidikan untuk menjadi Muslim yang baik. Karya ini dikenal sebagai fikih-tasawuf yang mencerahkan. Keteranganya ringkas, namun menyeluruh dan mudah dipahami oleh orang 'awam sekalipun dan juga tidak kehilangan bobot ilmiah dan intelektualitasnya.

Beberapa karya lainnya adalah al-Fath al-Rabbany yang berisi 62 khotbah yang disampaikan dalam tahun 545-546 H (1150-1152 M). Kitab kesufiannya yang terkenal adalah Futuh al-Ghayb, berisi 78 buah khotbah mengenai berbagai macam subjek keagamaan. Kitab ini berisi antara lain ajaran-ajarannya seputar akhlak (tasawuf 'amali) disertai dengan silsilahnya dan keterhubungannya dengan Abu Bakar serta Umar. Secara khusus, kitab ini dianalisis oleh Walter Braune dengan judul Die Futuh al-Gaib” des Abdul Qadir (Berlin & Leipzig, tahun 1933).

Karya utuhnya mengenai seluk-beluk tasawuf berjudul Sirr al-Asrar fi ma Yahtaju Ilayhi al-Arbar (rahasia terdalam dari segala rahasia dalam menjelaskan yang diperlukan oleh ahli kebajikan). Di dalamnya dibahas secara menyeluruh tentang syariat, tarikat, dan hakikat. Berisi satu mukadimah beserta 24 pasal, baik teologi-kalam, fikih-syari'at, maupun tasawuf (tarikat, hakiqat, dan makrifat). Kitab ini menjadi rujukan pokok pada pengajian tasawuf pada ribath Qadariyyah-Naqsyabandiyyah Jabal Qubais, Makkah.

Selain karya tersebut, kitab lainnya adalah Al-Mawahib al-Rahmaniyya wa al-Futuh al-Rabbaniyya fi Maratib al-Akhlaq al-Sawiya wa al-Maqamat al-'Irfaniyyat; Djala' al-Khatir, yaitu berupa kumpulan khotbah yang diperkirakan disampaikan pada tahun-tahun setelah 546 H; Yawakit al-Hikam; Malfudzat-I Jalali; Syarh-I-Ghautsiya va Ghayra; Al-Fuyudhat al-Rabbaniyyah fi al-Aurad al-Qadariyyah, koleksi mengenai sembahyang dan praktik ritual (salah satu edisinya terbit di Kairo, 1303 H); dan Hizb Basha'ir al-Khayrat, berisi doa-doa dan penjelasan masalah shalat syariat dan tarikat (salah satu edisinya terbit di Alexandria, 1304 H).

Dibanding ajaran-ajarannya, justru pengenalan masyarakat terhadap Syekh Abdul Qadir lebih dominan pada keajaiban-keajaiban, keluarbiasaan, dan kesaktian/keampuhannya yang bersumber pada kitab-kitab manakib yang beredar di kalangan masyarakat.

Kisah hidup pertama (mengenai keajaiban al-Jailani) terdapat dalam kitab Bahjah al-Asrar karangan Ali bin Yusuf al-Syattanaufi (w 713/1314). Taqiy al-Din Abdurrahman al-Wasithi (w 1343) menulis manakib al-Jailani dalam kitab Tiryaq al-Muhibbin fi thabaqat khirqat al-masyayikh al-arifin (masih terbit di Kairo tahun 1305/1888).

Tidak lama kemudian, muncul 'Afif al-Din al-Yafa'i (w 1367) yang mengarang kitab yang makin memantapkan nama al-Jailani sebagai ahli keajaiban yang terbesar dalam kitab Khulashah al-Mufakhir fi Ikhtishar Manaqib al-Syaikh Abdul Qadir. Kitab terakhir ini menjadi dasar beberapa versi manakib yang beredar di Indonesia.

Setelah Yafi'i, beberapa ulama mengarang kitab yang lebih ekstrem lagi dan yang paling penting di antaranya adalah kitab Lujjain al-Dani oleh Ja'far bin Hasan al-Barzanji (w 1766), pengarang yang dikenal di Indonesia dengan kitab Maulid al-Barzanji-nya.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani wafat pada tahun 1168 (11 Rabiul akhir 561) dalam usia 91 tahun setelah menderita sakit beberapa hari. Ia memiliki 20 putra dan 29 putri dari empat orang istrinya.

Para pengikut Al-Jailani biasanya memperingati hari wafatnya tersebut pada setiap 11 Rabi' al-Tsani yang diadakan acara haul (peringatan kematian) disertai pembacaan manakib Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Sedangkan, untuk mengenang secara kecil-kecilan, umumnya masyarakat melaksanakan acara sewelasan, acara ritual atau tradisi keagamaan setiap malam pada 11 bulan Qomariyyah.

Yang patut disayangkan adalah selama ini apa yang dikenalkan dan dikenal oleh masyarakat (terutama kaum awam) hanyalah mengeksploitasi segi-segi kemukjizatan dan karamah Syekh Abdul Qadir, yang justru kebanyakan berupa mitos. Informasi yang berlebih-lebihan mengenai Syekh Abdul Qadir ini berasal dari berbagai kitab manakib (riwayat hidup) yang hanya mengungkap kebaikan-kebaikannya tanpa didasarkan pada fakta historis, Biasanya, hal itu ditulis oleh para pengagumnya yang tentu saja otentitas sejarah dan validitasnya masih banyak yang meragukan dan perlu diteliti lebih lanjut. Wa Allahu A'lam.    

Baca Juga


BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler