Sederet Kejadian Pengabaian Masjid di Xinjiang?
Sejumlah kejadian kuatkan dugaan China abaikan masjid di Xinjiang.
REPUBLIKA.CO.ID, XINJIANG – Hingga satu dekade lalu, banyak umat Muslim bepergian dengan bus, mobil, keledai, hingga berjalan kaki, untuk berkumpul di tempat suci Imam Asim, di gurun perbatasan barat China.
Dengan susah payah, mereka berjalan melalui bukit pasir untuk berlutut di situs suci yang didedikasikan untuk Imam Asim. Ia merupakan seorang pria Muslim suci, yang membantu mengalahkan kerajaan Buddha yang telah memerintah di lokasi tersebut, lebih dari seribu tahun lalu.
Para pengikutnya merupakan orang Uighur, sebagian besar etnis minoritas Muslim. Mereka sering mengadakan festival tahunan untuk berdoa agar panen berlimpah, kesehatan yang baik, dan bayi yang kuat.
Ribuan peziarah sedang sholat di Kuil Imam Asim pada 2009 terekam dalam video yang diambil Rahile Dawut dan murid-muridnya. Seorang profesor di Middlebury College yang mengunjungi Kuil Imam Asim untuk penelitian pada 2008 dan 2009, Tamar Mayer, menyebut kegiatan itu bukan sekadar sejarah.
"Ada permainan, makanan, jungkat-jungkit untuk anak-anak, pembacaan puisi, dan seluruh area untuk bercerita. Kondisinya penuh dengan orang dan kehidupan," ujarnya dilansir di Business Standard, Ahad (27/9).
Pihak berwenang lantas berusaha membatasi kerumunan di kuil dengan pos pemeriksaan. Pada 2014 hampir seluruh kegiatan dilarang, sementara tahun lalu, banyak tempat suci telah dihancurkan.
Pagar dan tiang kayu yang pernah mengelilingi makam dan mengibarkan bendera doa, telah dirobohkan. Gambar satelit menunjukkan sebuah masjid di situs tersebut diratakan. Yang tersisa hanyalah bangunan batu bata lumpur yang menandai makam Imam Asim, yang tampaknya masih utuh di tengah reruntuhan.
Otoritas China dalam beberapa tahun terakhir telah menutup dan menghancurkan masjid hingga situs suci lainnya di Xinjiang. Wilayah ini telah lama melestarikan budaya Muslim dan kepercayaan Islam di wilayah tersebut.
Upaya menutup dan menghapus situs-situs ini merupakan bagian dari kampanye China yang lebih luas, untuk mengubah warga Uighur, Kazakh, maupun anggota kelompok etnis Asia Tengah lainnya menjadi pengikut setia Partai Komunis. Upaya asimilasi menyebabkan penahanan ratusan ribu Muslim di pusat indoktrinasi.
Institut Kebijakan Strategis Australia, sebuah kelompok penelitian yang berbasis di Canberra, mengeluarkan laporan sistematis yang mengukur tingkat kerusakan dan perubahan situs keagamaan dalam beberapa tahun terakhir.
Diperkirakan sekitar 8.500 masjid di seluruh Xinjiang telah dihancurkan sepenuhnya sejak 2017. Berarti, lebih dari sepertiga jumlah masjid yang menurut pemerintah berada di wilayah tersebut, telah hilang.
"Apa yang ditampilkan adalah kampanye penghancuran dan penghapusan, yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak Revolusi Kebudayaan," kata peneliti di institut yang memimpin analisis tersebut, Nathan Ruser.
Selama kekacauan satu dekade yang terjadi sejak 1966 di bawah Mao Zedong, banyak masjid dan situs keagamaan lainnya dihancurkan.
Institut yang juga dikenal sebagai ASPI ini mengumpulkan sampel acak dari 533 situs masjid yang diketahui di seluruh Xinjiang. Mereka menganalisis gambar satelit dari setiap situs yang diambil pada waktu yang berbeda untuk menilai perubahan.
ASPI mempelajari keadaan kawasan tempat suci, kuburan, dan situs suci lainnya melalui sampel dari 382 lokasi yang diambil dari survei dan catatan daring yang disponsori negara.
Pemerintah China telah menepis laporan pembongkaran luas situs keagamaan sebagai "omong kosong". Selanjutnya, mereka mengatakan menghargai perlindungan dan perbaikan masjid.
Pejabat China menuduh Institut Kebijakan Strategis Australia berusaha memfitnah China. Hal ini menunjuk pada pendanaan yang berasal dari pemerintah Amerika Serikat, dan menganggapnya sebagai bukti bahwa temuannya bias.
Lembaga tersebut menolak klaim itu, dengan mengatakan penelitian itu sepenuhnya independen dari pemberi dana.
Pihak berwenang telah menempatkan kontrol ketat pada pergerakan di Xinjiang. Aliran informasi keluar dari wilayah tersebut juga dibatasi, menjadikannya tantangan untuk menilai skala kehancuran di lapangan.
The New York Times memverifikasi banyak detail dalam laporan ASPI dengan mempelajari citra satelit dan mengunjungi situs di Xinjiang selatan tahun lalu.
"Apa yang kami lihat di sina adalah penghancuran yang disengaja terhadap situs-situs, yang dalam segala hal merupakan warisan orang Uighur dan warisan tanah ini,” kata seorang ahli musik dan budaya Uighur di Universitas London, Rachel Harris, yang meninjau laporan tersebut.
Banyak tempat suci dan pemakaman baru-baru ini ditutup atau dihancurkan oleh pihak berwenang. Padahal, keberadaannya merupakan perwujudan tradisi Islam yang beragam dari Uighur.
Kuil besar sering kali menjadi kuburan para imam, pedagang, maupun tentara yang menyebarkan Islam di wilayah tersebut lebih dari seribu tahun yang lalu. Beberapa di antaranya merupakan kompleks megah yang dibangun kembali selama berabad-abad. Meski demikian, tak jarang sebatang pohon atau tumpukan batu bisa berfungsi sebagai tempat pemujaan, menandai kehadiran suci bagi penduduk desa.
Di Ordam, sebuah kuil terkenal di gurun selatan Xinjiang, para pengikutnya berkumpul selama lebih dari 400 tahun. Hal ini guna merayakan kenangan seorang pemimpin yang membawa Islam ke wilayah tersebut dan melawan kerajaan Buddha.
Pada 1990-an, pemerintah China semakin gelisah dengan perluasan masjid dan kebangkitan kembali tempat suci di Xinjiang. Para pejabat melihat berkumpulnya peziarah sebagai penyulut pengabdian agama dan ekstremisme yang tidak terkendali, hingga serentetan serangan anti-pemerintah oleh orang Uighur yang tidak puas membuat pihak berwenang gelisah.
Pihak berwenang melarang festival dan ziarah di Ordam pada 1997. Tempat suci lainnya ditutup pada tahun-tahun berikutnya. Meski demikian, beberapa pengunjung dan turis terus berdatangan untuk berkunjung.
"Seorang warga Uighur yang berhasil mengunjungi Ordam mengatakan kepada beberapa penduduk desa terdekat, bahwa dia pernah ke lokasi tersebut dan mereka mulai menangis. Tidak sedikit yang meminta sedikit debu dari jaketnya. Ini memberi kesan betapa pentingnya tempat ini bagi orang-orang, bahkan ketika mereka tidak dapat berkunjung," ujar seorang peneliti di Universitas Nottingham yang mempelajari Ordam dan tempat suci lainnya, Rian Thum.
Penutupan yang diumumkan sebelumnya dan larangan kunjungan ke kuil merupakan awal dari kampanye yang lebih agresif oleh pemerintah.
Pada awal 2018, kuil Ordam, yang terisolasi di gurun dan hampir 50 mil dari kota terdekat, telah diratakan. Tindakan tersebut berarti menghapus salah satu situs terpenting warisan Uighur.
Berdasarkan gambar satelit dari waktu ke waktu, menunjukkan masjid tempat suci, ruang sholat, dan perumahan sederhana tempat para penjaganya pernah tinggal, telah dihancurkan.
Tidak ada berita tentang apa yang terjadi pada panci masak besar tempat para peziarah meninggalkan daging, biji-bijian dan sayuran yang dimasak oleh penjaga kuil.
Dalam beberapa kasus, pemerintah menghancurkan masjid atas nama pembangunan. Ketika wartawan //Times// mengunjungi kota Hotan di selatan Xinjiang tahun lalu, mereka menemukan sebuah taman baru di mana gambar satelit menunjukkan lokasi masjid hingga akhir 2017.
Empat situs lain di kota, tempat masjid pernah berdiri, sekarang menjadi taman baru atau sebidang tanah kosong, dan satu masjid yang setengah roboh. Masjid pusat utama di Hotan tetap ada, meski hanya sedikit orang yang hadir, bahkan untuk sholat Jumat.
Di Kashgar, kota besar di selatan Xinjiang, hampir semua masjid di pusat kota tampak tertutup, dengan perabotan ditumpuk di dalam, berdebu. Salah satu masjid bahkan telah diubah menjadi bar.
"Ini seperti saya kehilangan anggota keluarga di sekitar saya karena budaya kami diambil. Ini seperti bagian dari daging kita, tubuh kita, sedang dibuang," kata seorang mahasiswa pascasarjana Uighur dari Kashgar yang sekarang tinggal di Australia dan, mencari informasi tentang istrinya di Xinjiang, Mamutjan Abdurehim.
Tidak semua situs religius dihancurkan. Beberapa sekarang menjadi tempat wisata resmi, dan tidak lagi berfungsi sebagai situs ziarah, seperti Mausoleum Afaq Khoja yang terkenal di Kashgar.
Pemakaman Uighur yang luas di tepi Kashgar, sejauh ini bertahan. Beberapa keluarga berkunjung untuk merapikan kuburan dan memberi penghormatan.
Orang Uighur mencatat tempat suci telah dihancurkan dalam beberapa dekade sebelumnya. Kemudian bangunan tersebut dibangun kembali, dan mereka dapat bangkit kembali. Tetapi, mereka gentar dengan skala pemberantasan baru-baru ini. "Intensitas tindakan keras ini cukup mengejutkan. Banyak orang Uighur cukup pesimis, termasuk saya," lanjut Abdurehim.