Ketika Jokowi Sebut Lagi Soal Mini Lockdown

Jokowi menilai pembatasan skala provinsi merugikan masyarakat.

ANTARA/Muhammad Adimaja
Pekerja membersihkan layar iklan pesan layanan masyarakat terkait penanganan Covid-19 di Jakarta, Ahad (27/9/2020). Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa penanganan pandemi Covid-19 membutuhkan kedisiplinan dan kerja keras dari seluruh komponen bangsa.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Sapto Andika Candra, Rizky Suryarandika, Flori Sidebang

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan, penerapan intervensi berbasis lokal atau mini lockdown di suatu daerah untuk mencegah penyebaran penularan Covid-19 lebih efektif. Mini lockdown lebih baik daripada penerapan pembatasan di skala yang lebih besar atau di skala provinsi.

Hal ini disampaikan Jokowi saat membuka rapat terbatas laporan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional melalui video conference di Istana Merdeka, Senin (28/9).

“Artinya pembatasan berskala mikro baik itu di tingkat desa, di tingkat kampung, di tingkat RW, RT, atau di kantor, atau di ponpes. Saya kira itu lebih efektif. Mini lockdown yang berulang itu akan lebih efektif,” ujar Jokowi.

Ia menilai, menggeneralisasi pembatasan di skala provinsi justru malah akan merugikan masyarakat. Karena itu, Jokowi menginstruksikan Komite Penanganan Covid agar menekankan implementasi intervensi berbasis lokal kepada daerah-daerah.

“Jangan sampai kita generalisir satu kota atau satu kabupaten apalagi satu provinsi, ini akan merugikan banyak orang,” ucapnya.

Hari ini bukan untuk pertama kalinya Jokowi mengutarakan usulan pembatasan sosial dalam skala yang lebih kecil atau mikro. Dua pekan lalu, Juru Bicara Kepresidenan Fadjroel Rachman yang ikut mendampingi Presiden Jokowi saat bertemu dengan sejumlah pimpinan media mengulang pernyataan tentang pembatasan sosial berskala mikro yang lebih efektif tersebut berdasarkan pengalaman empiris sepanjang penanganan Covid-19 selama ini.

"Beliau menekankan, berdasarkan pengalaman empiris sepanjang menangani pandemi Covid-19, pembatasan sosial berskala mikro/komunitas lebih efektif menerapkan disiplin protokol kesehatan," ujar Fadjroel, Jumat (11/9).

Pembatasan sosial berskala mikro dianggap lebih efektif karena melibatkan masyarakat di level bawah. Pembatasan ini juga melibatkan langsung ketua RT, ketua RW, atau komunitas tertentu yang lingkupnya kecil. Cara ini dianggap lebih ampuh menekan penularan Covid-19.

Epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono memandang Pembatasan Sosial Berskala Komunitas (PSBK) cenderung lebih efektif ketimbang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Contoh PSBM atau PSBK mirip seperti yang dijalankan di Jawa Barat. PSBK dipandang dokter Pandu lebih efektif karena kekuatan ikatan antar masyarakat lebih kuat.

"Dulu saya konsepkan pembatasan sosial berskala komunitas karena lebih sustain. Komunitas tidak harus RT, RW tapi bisa di tempat kerja, pabrik, pecinta sepeda. Gunanya supaya saling mendidik dan menjaga satu sama lain di dalam komunitasnya," kata dokter Pandu pada Republika, Ahad (13/9).

Namun dokter Pandu menganggap wacana yang disampaikan oleh Jubir Kepresidenan Fadjroel Rachman itu hanya mengada-ngada. Sebab penerapan PSBM/K belum ada regulasinya secara nasional.

Pandu menilai karantina berbasis komunitas diperlukan demi mengisolasi kasus di kawasan atau rumah tangga tertentu. Pandu optimis PSBK bisa menekan laju Covid-19. "Ikatan sosial dalam PSBK lebih baik dari PSBB. Saya sarankan lakukan itu untuk tekan lajut Covid-19," sebut dokter Pandu.

Diketahui, aturan PSBM pertama diterapkan oleh Pemprov Jabar sesuai Pergub Jabar nomor 48 tahun 2020. Warga yang tinggal di kawasan PSBM dipantau ketat dan tak bisa kemana-mana selama dua pekan tanpa izin tim pelaksana PSBM setempat. Selama PSBM dilakukan, pemda menyalurkan bantuan pada warga.

Sedangkan PSBB diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2020. Aturan tersebut diumumkan Presiden Jokowi pada akhir Maret lalu.




Sebagai catatan, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Dwi Oktavia, memaparkan untuk rate tes PCR total per 1 juta penduduk sebanyak 85.042 orang. Jumlah orang yang dites PCR sepekan terakhir sebanyak 68.847, dengan tingkat positivity rate sebesar 11,1 persen," kata Dwi dalam keterangan tertulisnya, Ahad (27/9).

Dwi menuturkan, jumlah akumulatif konfirmasi pasien positif Covid-19 di Ibu Kota sejak Maret 2020 sampai kemarin sebanyak 71.370 orang. Sebanyak 56.413 orang dari total keseluruhan pasien Covid-19 telah dinyatakan pulih, dengan tingkat kesembuhan mencapai 79 persen.

Sementara itu, 1.692 pasien Covid-19 di Jakarta dilaporkan meninggal dunia. Jumlah kematian ini setara 2,4 persen dari total kasus di Jakarta. "Sedangkan tingkat kematian Indonesia sebesar 3,8 persen," ujar dia. Lebih lanjut Dwi menjelaskan, saat ini kasus aktif Covid-19 di Ibu Kota tercatat mencapai 13.265 orang.

Dikutip dari akun Instagram resmi Anies Baswedan, Pemprov DKI menemukan peningkatan kasus aktif di Jakarta melambat dari 49 persen menjadi 12 persen sejak Gubernur Anies Baswedan mengambil keputusan menarik rem darurat dan kembali memberlakukan PSBB ketat sejak 14 September lalu.

Penambahan kasus aktif yang dibandingkan adalah dari tangal 30 Agustus-11 September dengan kasus aktif di 12-23 September 2020. Yaitu dari sebelum PSBB dan setelah PSBB.

Hingga kemarin, tercatat terdapat tambahan kasus positif Covid-19 baru sebanyak 3.874 dari 37.272 pemeriksaan spesimen di Indonesia. Total kasus Covid-19 tercatat sebanyak 275.213. Sedangkan kasus sembuh dilaporkan sebanyak 3.611 dan menjadikan total akumulasi kasus sembuh sebanyak 203.014.

Kasus meninggal pun terus bertambah. Pada hari ini sebanyak 78 dilaporkan meninggal akibat Covid-19. Sehingga total kasus meninggal sebanyak 10.386.

Pemerintah juga masih melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap 129.553 suspek. Dari penambahan kasus harian hingga kemarin, Provinsi DKI Jakarta tercatat menyumbang tertinggi kasus baru Covid-19 sebanyak 1.217. Kemudian disusul oleh Jawa Barat sebanyak 437 kasus baru, Jawa Tengah melaporkan 258 kasus, Jawa Timur sebanyak 220 kasus, dan Sumatra Barat sebanyak 216 kasus baru.

Untuk menekan angka kematian Covid-19, Presiden Jokowi meminta standar pengobatan pasien Covid-19 di ICU maupun selama masa isolasi agar mengacu pada standar Kementerian Kesehatan. Penerapan standar dari Kementerian Kesehatan ini diharapkan mampu menurunkan angka kematian dan meningkatkan angka kesembuhan pasien.

“Saya tadi malam mendapatkan laporan dari Wakil Ketua Komite dan juga dari Menkes bahwa standar untuk pengobatan semuanya sudah diperintahkan untuk mengacu pada standar yang diberikan oleh Kemenkes, baik itu di ICU, di ruang isolasi, maupun di wisma karantina,” ujar Jokowi, hari ini.

Berdasarkan data yang diterimanya per 27 September, Jokowi mengatakan rata-rata kasus aktif di Indonesia saat ini sebesar 22,4 persen. Angka ini lebih rendah daripada rata-rata kasus aktif dunia yang sebesar 23,13 persen.

Sedangkan dibandingkan bulan lalu, rata-rata kasus kematian di Indonesia tercatat menurun dari 4,33 persen menjadi 3,77 persen. Namun demikian, jika dibandingkan dengan rata-rata kematian dunia, kasus kematian di Indonesia masih lebih tinggi.

“Karena rata-rata kematian dunia mencapai 3,01 persen. Ini menjadi tugas kita bersama untuk menekan lagi agar rata-rata kematian di negara kita bisa terus menurun,” ujarnya.

Sementara itu, rata-rata kasus kesembuhan di Indonesia sebesar 73,76 persen, sedikit lebih rendah dibandingkan rata-rata kesembuhan dunia sebesar 73,85 persen.


Tiga cara penularan Covid-19. - (Republika)




BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler