Kemenkeu: Pembahasan Tarif Sertifikasi Halal Hampir Final
Pembahasan besaran tarif sertfikasi halal sudah menyempit sejak Juni lalu.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah memastikan, regulasi mengenai tarif sertifikasi halal akan segera diresmikan dalam bentuk Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Saat ini, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama dengan Kementerian Agama (Kemenag) Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) sedang membahasnya.
Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Andin Hadiyanto mengatakan, besaran tarif sudah relatif menyempit sejak Juni dan harus dilihat sekali lagi. "Jadi, sudah mengerucut pembahasannya. Hampir di ujung," ujarnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR di Gedung DPR Jakarta, Senin (28/9).
Andin memberikan isyarat, regulasi mengenai tarif sertifikasi halal akan dikeluarkan setelah pembahasan RUU Cipta Kerja rampung. Sebab, rancangan beleid tersebut memuat beberapa poin yang menyangkut tarif sertifikasi halal, termasuk pembebasan biaya untuk UMK.
Poin berikutnya mengenai self declare. Pelaku UMK bisa mendapatkan sertifikat halal berdasarkan pernyataan mereka sendiri yang tetap merujuk pada standar halal dari BPJPH. Prosesnya, BPJPH akan memverifikasi dokumen persyaratan pelaku UMK sesuai standar. Apabila dianggap memenuhi ketentuan, BPJPH akan menerbitkan sertifikatnya.
Dengan keterkaitan dari dua regulasi ini, Andin mengatakan, pemerintah akan melihat hasil akhir beleid RUU Cipta Kerja terlebih dahulu sebelum mengeluarkan PMK. "Karena ada Cipta Kerja, kita tunggu saja sampai (Rancangan) UU Cipta Kerja selesai, baru kita selaraskan lagi," tuturnya.
Andin menjelaskan, usulan tarif sebenarnya sudah ada sejak September 2019 atau satu bulan sebelum pelaksanaan kewajiban sertifikasi halal pada 17 Oktober 2019. Tapi, usulan dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) tersebut belum memasukkan ketentuan tarif Rp 0 untuk Usaha Mikro dan Kecil (UMK).
Setelah melalui beberapa diskusi, tarif sertifikasi halal untuk UMK pun dibebaskan. Hanya saja, Andin mengatakan, saat itu, BPJPH belum memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) sehingga berpotensi sulit untuk melakukan implementasinya di lapangan.
"Artinya, kalau toh sudah ada tarif, tidak bisa eksekusi karena belum ada SOP," ucapnya.
Andin mengatakan, pihaknya terus membahas ketentuan tarif sembari menunggu SOP BPJPH yang pada akhirnya dirilis April. Satu bulan kemudian, penetapan usulan tarif yang dibuat per golongan pun dikeluarkan. Usulan ini disampaikan Kemenag yang akan menjadi pedoman bagi Kemenkeu untuk menetapkan tarif dalam PMK.
Kendala penetapan tarif kembali terjadi pada Juni. Saat itu, RUU Omnibus Law Cipta Kerja mulai dibahas di DPR.
Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto menyebutkan, lamanya penerbitan PMK menjadi faktor utama terhambatnya pelaksanaan kewajiban sertifikasi produk halal. Padahal, ketentuan ini sudah harus diimplementasikan sejak 17 Oktober 2019, atau lima tahun setelah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) dikeluarkan.
Yandri menunjuk, persoalan utamanya berada pada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang terlalu lama mengeluarkan regulasi tarif sertifikasi halal. Padahal, tarif ini dibutuhkan BPJPH untuk menjalankan amanatnya. "Kecuali, BPJPH diberikan mandat untuk mengeluarkan tarif. Tapi ini kan kewenangannya di Menteri Keuangan," ujarnya.
Dalam Rapat Kerja itu, Yandri meminta agar Kemenkeu mempercepat penerbitan PMK yang diselaraskan dengan semangat pengaturan pada RUU Cipta Kerja sebagai upaya mengoptimalkan peran BPJPH.
Yandri menambahkan, sertifikasi produk halal tidak boleh memberatkan pelaku UMKM, di antaranya dengan menyederhanakan prosedur dan keringanan biaya. Kepastian waktu proses pengurusan sertifikasi dan menjamin ketersediaan tempat hingga alat pengujian sampel juga harus diberikan.