Perpanjangan Restrukturisasi Kredit Picu Penurunan Laba Bank
Risiko penurunan laba dapat ditutup dengan kredit baru, tapi permintaan belum pulih.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perbankan Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) menilai perpanjangan restrukturisasi kredit berisiko menurunkan laba perbankan. Penurunan laba dapat terjadi seiring dengan menurunnya pendapatan karena pelunasan kredit tertunda.
Ketua Bidang Pengembangan Kajian Ekonomi Perbanas Aviliani mengatakan kredit perbankan menyumbang sekitar 70 persen-80 persen pendapatan bank.
“Saat pinjaman belum dibayar, bank tetap harus membayar bunga simpanan kepada nasabah. Belum lagi ada biaya operasional yang meningkat, misalnya penyediaan protokol kesehatan,” ujarnya saat acara ‘The 2nd Series Industry Roundtable (Episode 8) Banking Industry Perspective’ Selasa (29/9)
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) laba bersih perbankan turun 19,8 persen per Juni dan diperkirakan akan mencapai 30 persen-40 persen pada akhir tahun nanti.
“Risiko ini sebetulnya dapat ditutup dengan penyaluran kredit baru. Masalahnya permintaan kredit masih belum pulih saat seperti ini. Pertumbuhan kredit Agustus saja hanya 1,04 persen yoy,” ucapnya.
Dari sisi lain, Aviliani menyebut penyerapan bantuan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) terletak pada data. Dia menilai program PEN sangat bagus, tetapi realisasi penyaluran yang terkendala data.
“Untuk yang berkaitan dengan demand side sebetulnya cukup besar yaitu Rp 203 triliun dan sisanya sekitar Rp 400 triliun sekian itu untuk supply side. Nah di dalam demand side pemerintah ada beberapa persoalan yang dihadapi, pertama persoalan data,” ucapnya.
Menurutnya orang miskin baru selama Covid-19 belum terdeteksi semuanya, hanya sebagian orang miskin yang telah diberikan bantuan. Tetapi untuk sebagian lagi orang miskin baru sedang diverifikasi datanya, sehingga masalah utama dari penyaluran PEN adalah masalah data.
Lanjutnya, masalah kedua, bantuan subsidi gaji di bawah Rp 5 juta ini banyak merangkul sektor formal dibanding sektor informal. Padahal kata Aviliani sektor informal cukup banyak, hanya saja belum terdeteksi dari sisi pendataan pemerintah.
“Oleh karena itu memang problem pemerintah adalah implementasinya PEN sampai dengan September baru 35 persen makanya dikatakan kita masuk jurang resesi. Mudah-mudahan triwulan ke-4 bisa terserap, oleh karena itu mungkin yang dibutuhkan adalah gunakanlah data yang ada saja,” ucapnya.