Bank Dunia: Pembatalan Utang Perlu untuk Bantu Negara Miskin
Pandemi Covid-19 memicu krisis utang di beberapa negara, terutama negara miskin.
REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Presiden Bank Dunia David Malpass mengingatkan, pandemi Covid-19 dapat memicu krisis utang di beberapa negara. Oleh karena itu, para investor harus siap memberikan beberapa bentuk keringanan, termasuk pembatalan utang.
Malpass menjelaskan, sudah terbukti bahwa beberapa negara tidak dapat membayar kembali utang yang mereka tanggung. "Karena itu, kita juga harus mengurangi tingkat utang. Ini bisa disebut keringanan atau pembatalan utang," tuturnya kepada harian bisnis Handelsblatt dalam sebuah wawancara yang dikutip Reuters, Ahad (4/10).
Malpass mengatakan, kini menjadi penting agar jumlah utang dikurangi melalui restrukturisasi.
Ia menunjuk langkah serupa dalam krisis keuangan sebelumnya seperti di Amerika Latin dan inisiatif Heavily Indebted Poor Country (HIPC) yang diinisiasi Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan beberapa kreditor multilateral lain. Inisiatif ini diberikan ke negara-negara yang memiliki utang besar pada 1990-an.
Pada bulan lalu, negara-negara kaya telah mendukung perpanjangan dari Debt Service Suspension Initiative (DSSI) G20 yang disetujui pada April. Langkah ini untuk membantu negara-negara berkembang bertahan dari pandemi Covid-19, menyebabkan 43 dari 73 negara potensial yang telah memenuhi syarat dapat menangguhkan utang 5 miliar dolar AS.
Di tengah ancaman pandemi yang dapat mendorong 100 juta orang ke dalam jurang kemiskinan ekstrem, Malpass juga menyerukan agar bank swasta dan dana investasi ikut terlibat. "Para investor ini tidak berbuat banyak dan saya kecewa dengan mereka. Beberapa pemberi pinjaman juga tidak cukup terlibat. Oleh karena itu, langkah-langkah bantuan menjadi kurang dari yang seharusnya," katanya.
Malpass memperingatkan, pandemi dapat memicu krisis utang lain. Pasalnya, beberapa negara berkembang telah memasuki masa pertumbuhan yang lebih lemah dan masalah keuangan.
"Defisit anggaran yang sangat besar dan pembayaran hutang membebani negara-negara ini. Apalagi, bank-bank di sana kesulitan karena kredit macet," ujarnya.