Demo UU Ciptaker, Setara: Prioritaskan Ketertiban Sosial

Setara mengatakan ketertiban sosial harus jadi prioritas dalam aksi tolak UU Ciptaker

Republika/Rakhmawaty La'Lang
Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi
Red: Bayu Hermawan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setara Institute mengatakan, unjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) adalah sah dan harus dihormati, karena dijamin dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945. Namun, Setara mengingatkan unjuk rasa tidak boleh diikuti dengan aksi perisakan yang menganggu ketertiban umum.

Baca Juga


"Kebebasan itu harus dijalankan dengan tidak melanggar pembatasan-pembatasan yang sudah ditetapkan, seperti larangan melakukan pengrusakan, tidak menimbulkan anarki sosial, tidak mengganggu ketertiban umum dan lain sebagainya," ujar Ketua Setara Institute Hendardi dalam keterangan tertulis, Kamis (15/10) 

Hendardi melanjutkan, jika aksi unjuk rasa mengarah pada anarki sosial, maka sudah sepatutnya aparat keamanan melakukan pencegahan dan penindakan. Tetapi, ia juga mengingatkan, hal itu harus dilakukan dengan cara-cara yang dibenarkan.

Menurutnya, apa yang terjadi dalam beberapa hari terakhir, sepatutnya menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk menahan diri dalam menyampaikan aspirasinya. Ia menilai, aksi massa dalam jumlah yang besar hampir pasti mengundang conflict enterpreneur untuk memanfaatkan situasi untuk kepentingan-kepentingan tertentu. 

"Penyebaran informasi terkait rencana aksi lanjutan dengan agenda-agenda yang melampaui dari isu UU Cipta Kerja, di tengah masyarakat telah menimbulkan keresahan dan ketakutan," jelasnya.

Dia meminta, aksi unjuk rasa dengan agenda-agenda ekstra konstitusional harus dicegah dengan tindakan hukum yang akuntabel. Percampuran kepentingan dan agenda aksi oleh berbagai komponen masyarakat telah menggambarkan bahwa aksi unjuk rasa yang digelar baru-baru ini memiliki kerentanan lebih luas mengganggu ketertiban sosial.

"Untuk kembali memusatkan energi penolakan terhadap UU Cipta Kerja, elemen masyarakat dapat menggunakan mekanisme yang tersedia dalam sistem ketatanegaraan kita, yakni menguji pasal-pasal yang kontroversial itu ke meja Mahkamah Konstitusi," jelasnya.

"Termasuk sejumlah catatan formil yang dianggap tidak sesuai dengan prosedur pembentukan UU juga bisa diujikan ke Mahkamah Konstiusi," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler