Ancaman SKCK, Pakar: Pembatasan Hak Hanya Milik MK
Pencatatan dan penilaian SKCK di kepolisian nyatanya memiliki hukum yang tidak jelas.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana UII Mudzakkir, mengkritik ancaman tak keluarkan SKCK bagi pelajar yang berunjuk rasa. Menurut dia, yang bisa mencabut hak para pelajar itu bukanlah kepolisian, melainkan MK.
"Polisi tidak bisa seperti itu. Kalau bisa berarti fungsinya ganda. Bisa penyidik dan penghukum juga, kan tidak boleh," ujar dia kepada Republika, Jumat (16/10).
Dirinya menegaskan, pencatatan dan penilaian SKCK di kepolisian juga nyatanya memiliki hukum yang tidak jelas. Pasalnya, jika ada pencatatan kelakukan seperti itu, harus ada yang menilai. "Dan kalau ada yang menilai, harusnya pemuka agama, bukan polisi," tambah dia.
Oleh sebab itu, ungkapan dari Polres Metro Tangerang Kota yang memastikan, jika para pelajar melakukan aksi demonstrasi di wilayah Kota Tangerang akan tercatat dalam Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) adalah ucapan yang keliru. Sehingga, perlu ditarik kembali dan mengakui kesalahan ucapan itu.
Pembatasan hak seseorang, termasuk pelajar, kata dia harus berdasarkan putusan pengadilan sebagaimana tercantum di KUHP 310 dan 311. Hal itu, menurutnya juga bertolak belakang dengan pasal 38 tentang pembatasan hak tersangka pidana untuk mencalonkan diri sebagai pengemban tugas negara.
"Dalam pasal itu, yang dijelaskan tidak boleh nyaleg memang ada ketentuan dari putusan pengadilannya. Beda dengan pembatasan hak menerima SKCK bagi pelajar yang tidak ada putusannya," ujar dia.
Aturan itu memang dia akui ada dalam ketentuan administrasi. Dalam ketentuannya, mantan napi, kata dia dinyatakan tidak boleh mencalonkan diri maksimum lima tahun. Karena telah melakukan pelanggaran serius pada negara. Bukan karena perbedaan pandangan, apalagi hanya sekedar demonstrasi.
"Jadi kalau sekarang polisi mau nyabut hak untuk berdemo sampai mengancam pembatasan hak SKCK, itu lebih ngawur," ungkapnya. Terlebih, ketika para pelajar juga bukan ditindak sebagai kriminal karena tidak ada dasarnya, melainkan karena penyampaian aspirasi politik.