Kebangkitan Barat Justru Saat Islam Ada di Spanyol?

Kebangkitan Barat justru dimulai saat Islam berada di Spanyol.

Islamic-arts.org
Kebangkitan Barat justru dimulai saat Islam berada di Spanyol. Islam di Andalusia Spanyol
Rep: Hasanul Rizqa Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Eropa masih memandang curiga Islam sebagai the other. Dalam titik yang paling kritis, muncul Islamofobia.

Baca Juga


Kecenderungan ini belakangan menguat pula di sejumlah negara besar Eropa. Di belahan dunia Barat lainnya, Amerika Serikat kini dipimpin Donald Trump, figur yang kerap melontarkan sentimen anti-Muslim.

Sampai kapan kecurigaan terus membayangi hubungan antara Barat dan Islam? Untuk menjawabnya, kita perlu membaca kembali pelbagai peninjauan akan sejarah kebudayaan dan peradaban Barat sendiri.

Salah satu yang komprehensif adalah Roger Garaudy (1913-2012). Sepanjang hidupnya, filsuf Prancis ini berupaya menjembatani dialog peradaban antara Barat dan Islam.

Kisah hidupnya cukup menarik. Sejak masa mudanya, Garaudy merupakan simpatisan Partai Komunisme Prancis sekaligus aktivis Kristen Protestan yang disegani. Dan, setelah mengalami pergulatan intelektual yang panjang, pada 1982 ia memutuskan untuk masuk Islam.

Namun, sebelum menjadi Muslim, ia telah menulis karya monumentalnya, Promesses de l'Islam (Janji-Janji Islam). Di sana Garaudy menemukan bahwa tak ada yang perlu dibenturkan antara peradaban Eropa dan Islam.

Kebudayaan dan peradaban Barat sesungguhnya bersumber pada warisan filsafat Yunani. Akses Barat terhadap filsafat Yunani hanya mungkin lantaran kontribusi kaum cendekiawan Muslim pada puncak zaman keemasan Islam. Para sarjana Muslim dengan giat menerjemahkan warisan pemikiran para filsuf Yunani Kuno.

Lebih lanjut, Renaisans Barat sejatinya bermula bukan di Italia pada abad ke-14, melainkan Andalusia (Spanyol) empat abad sebelumnya. Maka, Garaudy bertanya kepada publik Eropa: Mengapa kita menghapus jejak-jejak kebudayaan yang melahirkan dan membesarkan kebudayaan kita?

Kolonialisme merupakan cara penghapusan jejak-jejak demikian. Di dalamnya, orientalis hanyalah suatu kalangan yang ikut menggerakkan secara sistematis penjajahan ini.

Karena itu, Garaudy yang juga guru besar Universitas Poitiers menyuarakan pentingnya dialog antarperadaban. Berabad-abad lamanya Barat sibuk dengan monolog sepihak. Pesatnya perkembangan teknologi informasi memungkinkan dialog demikian terjadi dengan mudah.

Sikap eksklusif tidak akan menjadi solusi antarperadaban yang berbeda-beda. Dalam pengamatan Garaudy, Islam sendiri sudah mulai terserang penyakit formalisme yuridis atau dogmatisme yang mengikis segi spiritualitas. Pada saat yang sama, kebudayaan Barat sejak abad ke-15 terus mengalami kemunduran lantaran meninggalkan segi transendennya dan berpaling pada sekularisme.

Garaudy menilai, banyak hal yang bisa dipelajari Barat, bila bersedia, dari Islam, misalnya dalam soal pemerintahan. Menurut Garaudy, demokrasi parlementer sejatinya berdiri pada dasar individualisme sehingga hanya memikirkan maslahat pribadi atau kelompok sendiri.

Ini berbeda dengan Islam yang memiliki konsep umat, yakni setiap anggotanya terpadu melampaui identitas ras, daerah, atau sejarah masing-masing. Dalam Islam, kekuasaan hanyalah alat untuk mencapai tujuan yang lebih luhur dan bersifat transenden bagi umat, yakni ridha Pencipta.

Bagi Garaudy, tidak ada keadilan tanpa transendensi atau kehendak untuk memulangkan diri kepada Tuhan. Dan, bukankah isu keadilan kerap menjadi latar mencuatnya politik identitas, termasuk di Eropa dan Amerika? Agaknya, Garaudy hendak mengajak sesamanya, Barat, untuk menjalani perjalanan sufistik menuju Tuhan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler