Baleg: Pembahasan UU Ciptaker tak Terkonsolidasi Baik
Hal ini akan menjadi pertanyaan publik perihal transparansi pembahasan UU Ciptaker.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Mulyanto mengatakan, pembahasan Undang-Undang Cipta Kerja terlalu dikebut oleh DPR dan pemerintah. Hal ini, kata dia, mengakibatkan adanya kesalahan yang berujung pengajuan revisi oleh Kementerian Sekretariat Negara.
“RUU dibahas secara formil, secara ngebut. Dokumen tidak terkonsolidasi dengan baik, ada redaksi yang tidak tepat, tercecer, termasuk typo,” ujar Mulyanto kepada wartawan, Jumat (23/10).
Dia menjelaskan, dalam draf UU Cipta Kerja 5 Oktober 2020 yang berjumlah 905 halaman, Pasal 46 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, belumlah dihapus. Lalu, pasal tersebut dihapus sesuai dengan keputusan panitia kerja (Panja).
Namun, dalam naskah UU Cipta Kerja tertanggal 12 Oktober 2020 yang berjumlah 812 halaman, Pasal 46 yang terdiri dari lima ayat, hanya ayat kelima yang dihapus. Tetapi, masih ada ayat satu sampai empat yang belum dihapus.
“Dalam dokumen terakhir, Pasal 46 ingin dihapus sesuai kesepakatan Panja,” ujar Wakil Ketua Fraksi PKS DPR itu.
Menurutnya, hal seperti ini akan menjadi pertanyaan publik perihal transparansi pembahasan UU Cipta Kerja. Meskipun, pimpinan Baleg dan pemerintah mengeklaim bahwa tak ada perubahan substansi dalam revisi terbaru.
“Ini yang juga menjadi pertanyaan publik, apakah bisa diterima pembentukan undang-undang dengan cara ngebut seperti itu,” ujar Mulyanto.
Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, Kementerian Sekretariat Negara memang mengajukan perbaikan dalam naskah Undang-Undang Cipta Kerja. Salah satunya adalah Pasal 46 UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang seharusnya dihapus dari undang-undang sapu jagat itu.
Dia menjelaskan, awalnya itu adalah keinginan pemerintah untuk mengusulkan pengalihan kewenangan penetapan toll fee dari BPH Migas ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Tetapi, keinginan tersebut tak disetujui oleh Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja.
Namun dalam naskah yang tertulis, pasal tersebut masih ada dalam draf UU Cipta Kerja berjumlah 812 halaman yang dikirim oleh Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar. Baleg, kata Supratman, juga telah memastikan bahwa pasal tersebut seharusnya dihapus.
“Itu benar seharusnya tidak ada, karena seharusnya dihapus. Karena kembali ke undang-undang eksisting, jadi tidak ada di UU Cipta Kerja,” ujar Supratman.