Obat Malaria Lainnya Dibidik untuk Tangani Covid-19
Obat malaria hidroksiklorokuin ternyata tak membantu pengobatan Covid-19.
REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Covid-19, penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus corona baru, yakni SARS-CoV-2, belum memiliki obat atau vaksin khusus. Padahal, seisi dunia telah hidup dengan infeksi virus yang mematikan ini selama hampir satu tahun sekarang.
Berbagai obat dan perawatan yang digunakan untuk penyakit lain, seperti malaria, HIV, atau bahkan untuk pengobatan SARS dan MERS yang disebabkan oleh saudara genetik dari virus corona baru, telah digunakan kembali dan diuji dalam perang melawan Covid-19. Awalnya, para peneliti dan profesional medis yang berupaya menemukan obat untuk Covid-19 menyebut, hidroksiklorokuin (HCQ) sebagai salah satu obat paling efektif melawan infeksi SARS-CoV-2.
Akan tetapi, saat penelitian lebih lanjut dilakukan, obat tersebut tidak hanya ditemukan tidak membantu dalam pengobatan Covid-19, tetapi juga memiliki berbagai efek samping yang dapat menyebabkan komplikasi lebih lanjut dan bahkan berakibat fatal bagi pasien. Menurut laporan terbaru dilansir Times Now New, Kamis (22/10), sekelompok peneliti yakin bahwa mereka telah menemukan cukup bukti bahwa obat antimalaria lain dapat digunakan kembali untuk mengobati Covid-19.
Menurut para peneliti, meskipun HCQ terbukti tidak berhasil dalam pengobatan Covid-19, masih ada obat malaria lainnya yang dapat digunakan untuk mengobati Covid-19. Namun, kemanjurannya harus dinilai dalam uji klinis.
Dalam ulasan dipublikasikan secara daring di Trends in Parasitology, peneliti menguraikan bukti yang mendukung sifat antivirus dan antiinflamasi dari obat antimalaria tertentu, yang dapat membantu dalam pengobatan Covid-19 sebagai penyakit yang belum dapat disembuhkan. Kelompok peneliti dari berbagai institusi di Eropa, Asia dan Afrika mengatakan bahwa kombinasi obat artesunat dan pironaridin mungkin yang paling menjanjikan dalam pengobatan Covid-19.
Menurut tinjauan tersebut, kedua obat itu telah menunjukkan efek antivirus pada virus corona baru di sel paru-paru manusia dalam penelitian laboratorium. Pironaridin juga ditemukan lebih kuat daripada hidroksiklorokuin dalam tes ini.
Sementara itu, artesunat juga memiliki efek anti-inflamasi. Para peneliti meyakini, efek ini bisa bekerja mirip dengan deksametason, obat yang sangat menjanjikan dalam pengobatan Covid-19 dan tidak menunjukkan risiko yang sama.
Kedua obat tersebut juga tidak mahal dan juga memiliki profil keamanan yang terkenal. Obat juga dapat diproduksi dalam skala besar dan bisa diberikan kepada pasien Covid-19 yang bergejala dengan risiko minimal. Para peneliti berharap mereka dapat segera mengevaluasi kemanjuran obat-obatan ini, dengan pendanaan yang sesuai untuk uji klinis.
Namun, para peneliti mencatat bahwa potensi obat yang terlalu menjanjikan bisa berbahaya, mengingat apa yang terjadi dengan HCQ di awal tahun. Penulis utama makalah dan Profesor Parasitologi Molekuler dan Kedokteran di St George's, Universitas London, Sanjeev Krishna, mengatakan bahwa ada kebutuhan besar untuk mengurangi risiko perkembangan penyakit dan rawat inap pada orang yang didiagnosis dengan Covid-19.
"Perbaikan dalam pengobatan pada permulaan gejala dapat bermanfaat besar dalam meringankan beban sistem perawatan kesehatan secara global." kata Dr. Krishna.
Menurut Dr. Krishna, tinjauan ini menyoroti pendekatan para peneliti terhadap penggunaan obat malaria untuk menilai peran mereka dalam mengalahkan virus corona.
"Masih terlalu dini untuk mengatakan apakah obat ini akan efektif, tetapi tanda yang tepat di laboratorium sudah ada," tambahnya.
Peneliti selanjutnya berencana memulai uji klinis pada pasien dengan Covid-19 untuk melihat apakah obat ini dapat meningkatkan hasil dan membantu orang mengatasi diagnosis mereka lebih cepat dan tanpa perlu perawatan yang lebih intensif.