Prof Deddy: Fenomena Charlie Hebdo Akibat Etnosentrisme
Mereka meremehkan kebudayaan lainnya terlebih nonkulit putih
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat komunikasi Universitas Padja djaran, Prof Deddy Mulyana, menilai, banyak faktor yang membuat sejumlah media di Eropa kerap memasang konten-konten yang menyinggung komunitas Muslim.
Charlie Hebdo yang berkali-kali memuat karikatur Nabi Muhammad hanya salah satunya. Menurut Deddy, sebagian besar negara barat masih menderita sindrom etnosentrisme kebudayaan, termasuk agama. Mereka meremehkan kebudayaan lainnya terlebih nonkulit putih serta ajaran dan nilai agama minoritas.
Meski demikian, Deddy menilai, tidak semua negara di Eropa memiliki kecenderungan merendahkan Islam sebagai agama minoritas di kebanyakan negara Eropa. Inggris, misalnya, justru mempunyai hubungan yang baik dengan komunitas Muslim. Menurut Deddy, hal tersebut tergambar dalam banyak tayang an-tayangan media Inggris yang juga banyak mengakomodasi komunitas Muslim.
Untuk media-media dari Prancis, Deddy menilai, mereka tidak memiliki sensitivitas terhadap keragaman budaya dan agama. Demi kepentingan bisnis, sejumlah media justru memilih menyuguhkan konten-konten yang menarik sensasi kendati menyinggung budaya maupun agama.
Padahal, dia berpendapat, saat teknologi semakin canggih, seyogianya media digunakan untuk mencapai kepentingan bersama, perdamaian, kemajuan bersama. Bukan untuk saling meremehkan dan merendahkan. "Jelas bahwa mereka (media Eropa seperti Charlie Hebdo) tidak punya sensitivitas dan kepekaan antar budaya," ujar dia.
Jika memiliki empati, kata dia, mereka cukup cerdas sehingga tak akan menerbitkan kon ten yang memancing reaksi. Deddy mene gaskan, mereka seharusnya mengerti kemuliaan Nabi Muhammad bagi kaum Muslimin yang amat tinggi dan mulai dari siapa pun.
Selain itu, Deddy menilai, ada stereotipe negatif akut yang terjadi pada orang-orang Eropa dalam memandang Islam. Steorotipe tersebut mempengaruhi media-media dalam menyuguhkan konten yang menstigma umat Islam sebagai teroris dan radikalis.
Di samping itu, pemberitaan media Eropa dinilai tidak berimbang khususnya pada kasus-kasus keke ras an atau pelanggaran hak asasi yang menimpa komunitas Muslim di Eropa maupun belahan dunia lain. Di lain sisi, kasus-kasus yang berkaitan dengan kelompok Muslim menjadi per hatian serius dan cenderung dibesarkan.
"Mereka menganut freedom of the pers, paling-paling tanggung jawab sosial. Sekarang ada yang berbau ekonomi media, komoditas. Apa pun bisa disiarkan sebagai komoditas yang mendatangkan keuntungan, memang itulah yang mereka anut," kata dia.