Pelajar Jangan Asal Ikut Demo, Kuasai Dulu Ilmunya

Pelajar ikut aksi menunjukkan masih banyak yang kritis dan peduli terhadap masyarakat

Zuli Istiqomah/Republika
Sebanyak 135 pelajar diamankan polisi karena menggelar aksi demonstrasi di depan kantor DPRD Subang tanpa pemberitahuan. Mereka juga merusak fasilitas umum di sekitar kantor DPRD Subang.
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, “Milenial bisa apa? Kok ikut aksi? Mending sekolah dan kuliah yang benar”.

Pertanyaan itu sempat saya dengar. Baik secara langsung ataupun secara lisan. Banyak orang termasuk beberapa tokoh negara mempertanyakan hal di atas. Dan tentu jawabannya sangat bervariatif.

Secara regulasi, belum ada yang mengatur boleh tidaknya pelajar ikut demonstrasi. Namun jika ditarik secara dasar adalah UUD 1945 menjamin setiap warga negaranya untuk menyampaikan aspirasi.

Saya menganggap pelajar juga sebagai warga negara yang dijamin undang-undang jika menyampaikan aspirasi di depan umum. Namun jika pelajar disuruh atau dibayar untuk turun demonstrasi, maka orang yang menyuruh akan terkena Undang-Undang tentang Perlindungan Anak pasal eksploitasi anak.

Akhir-akhir ini pelajar menjadi sorotan di masyarakat baik di media massa, media daring serta media sosial. Namun sorotan tersebut bukan hal positif, tetapi hal negatif akibat pelajar mengikuti aksi demonstrasi tolak RUU Cipta Kerja/ Omnibus Law.

Padahal sejak 2019, Pelajar mulai turun untuk demonstrasi. Contohnya adalah saat aksi penolakan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP, beberapa peserta aksi yang turun ke jalan adalah mereka yang berstatus pelajar.

Bagi saya, pelajar turun aksi ke jalan adalah sebuah kemajuan, karena masih ada pelajar yang berpikiran kritis dan peduli kepada masyarakat banyak. Mereka tidak hanya duduk di kelas belajar teori atau bahkan hanya rebahan di kasur dan bermain game.

Namun, aksi pelajar tersebut sempat diwarnai kericuhan. Baik pada tahun 2019 ataupun kejadian aksi baru-baru ini. Bahkan, aksi kemarin berdampak pada banyak hal, salah satunya adalah rusaknya fasilitas umum di beberapa tempat.

Polisi menangkap pelajar yang berdemo dan hendak berdemo menolak RUU Cipta Kerja. Penangkapan dilakukan karena mereka dianggap belum waktunya untuk turun ke jalan. Malah ada beberapa yang diduga sebagai dalang kericuhan. Ini terjadi akibat pelajar masih banyak yang belum memahami dan mengetahui dinamika demonstrasi serta regulasi aksi yang berlaku, sehingga banyak pelajar yang ditangkap dan diproses oleh pihak berwajib walaupun bukan berupa kurungan.

Belum lagi, ketika mereka ditanya mengerti atau tidak tentang UU Cipta Kerja, hampir semua pelajar tersebut berkata tidak mengerti. Lalu ketika ditanya tujuannya, kebanyakan dari mereka menjawab mengikuti teman.

Sebetulnya, pelajar bisa mendapatkan pengalaman berharga dan mempraktikkan pelajaran pendidikan kewarganegaraan jika mereka turun aksi. Namun mereka juga harus paham perihal manajemen aksi.

Manajemen aksi bisa dilakukan berupa edukasi baik di kelas oleh guru Pendidikan Kewarganegaraan atau bisa juga diberikan saat masa pengenalan sekolah oleh organisasi pelajar atau bahkan bisa mengundang kepala kepolisian setempat.

Edukasi ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang bagaimana menyampaikan aspirasi melalui demonstrasi. Lalu, bisa juga untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti terkena pelanggaran hukum.

Selanjutnya, materi edukasi manajemen aksi ini bisa berisi tentang regulasi yang berlaku, bagaimana pelanggarannya hingga sanksi jika pelajar melanggar regulasi tersebut. Selain itu, bisa juga diisi dengan materi Public Speaking.

Lalu dalam edukasi tersebut, bisa diberikan tips bagaimana agar aksi tetap damai, menghindari kericuhan serta antisipasi lain seperti solusi jika terkena gas air mata dan juga cara membubarkan diri dengan baik. Untuk simulasinya, bisa dilakukan di lingkungan sekolah. Contohnya menyampaikan aspirasi kepada pengurus organisasi intra sekolah, atau bisa juga menyampaikan aspirasi kepada pimpinan sekolah.

Tentu dengan cara yang diajarkan melalui edukasi manajemen aksi.


Berikutnya muncul pertanyaan, “Bagaimana jika sudah diberikan edukasi, namun masih melanggar?” Jika ada pelajar yang terbukti bersalah sebagai dalang perusakan dan kericuhan saat berdemonstrasi tentu harus diproses secara hukum. Jika masih di  bawah umur, cukup dengan sanksi sosial dan sanksi yang dilakukan oleh sekolah.

Namun jangan sampai pelajar dikenakan sanksi berupa fisik ataupun penahanan ijazah. Karena saya yakin yang mereka tak berniat merusak atau melawan, tetapi reaksi dari apa yang mereka dapatkan.

Setelah masa hukuman selesai, pihak berwajib, guru dan masyarakat tidak boleh mengucilkan para pelajar yang terkena sanksi. Justru harus diperlakukan sebagaimana pelajar pada umumnya, bahkan bisa dijadikan rekan dalam berbagai hal.

Dengan seperti itu, menurut saya, pelajar tidak akan merasa dikekang dalam kebebasan menyampaikan pendapat serta pelajar akan paham alur yang baik dan benar dalam menyampaikan aspirasi. Dengan demikian daya kritis pelajar tidak akan tumpul dan juga hilang.

Saya yakin, pelajar yang hari ini dibimbing dan diberikan pemahaman tentang pentingnya menyampaikan pendapat serta dilakukan dengan cara yang benar, di masa depan kita tidak akan khawatir meninggalkan generasi yang lemah.

PENULIS/ PENGIRIM: Fathin Robbani Sukmana, Ketua Pimpinan Wilayah
Ikatan Pelajar Muhammadiyah Jawa Barat.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler