Muslim Austria Khawatir Ada Serangan Balik Usai Insiden Wina
Muslim lainnya mengaku kini merasa takut berjalan di Wina.
REPUBLIKA.CO.ID, WINA -- Serangan di Wina, Austria pada 2 November 2020 lalu telah menimbulkan kekhawatiran bagi Muslim di negara itu. Serangan tersebut dilakukan oleh pendukung ISIS di Suriah.
Meski pada saat kejadian seorang Muslim bernama Osama Abu El Hosna berada di lokasi dan secara heroik mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan seorang polisi, namun, Muslim lainnya mengaku kini merasa takut berjalan di jalanan kota Wina.
Mereka takut akan serangan balik terhadap komunitas mereka. Kisah Hosna sendiri adalah bukti dari islamofobia yang hadir di banyak bagian masyarakat Austria, dan yang telah disebarluaskan oleh politikus sayap kanan.
Di negara mayoritas Katolik ini, setengah dari masyarakat Austria percaya masjid tidak boleh ditoleransi. Menurut sebuah studi pada 2019 oleh Universitas Salzburg, masyarakat setempat mengatakan memiliki citra negatif terhadap Muslim.
Muslim membentuk delapan persen dari populasi, salah satu proporsi tertinggi di Uni Eropa. Namun, Partai Kebebasan sayap kanan (FPOe) secara terbuka menggunakan citra islamofobia dan rasialis, termasuk selama masanya di pemerintahan antara akhir 2017 dan Mei tahun lalu.
Menurut kelompok Dokustelle, yang mendokumentasikan pelecehan dan rasialisme anti-Muslim, insiden yang menargetkan Muslim naik dari 309 pada 2017 menjadi 1.051 pada 2019. LSM itu juga melaporkan peningkatan insiden anti-Muslim setelah serangan Wina, termasuk bangunan yang dirusak dengan hinaan.
"Begitu banyak perempuan menelepon karena mereka terlalu takut keluar, karena mereka dilecehkan karena memakai jilbab," kata pendiri Dokustelle Elif Adam, dilansir di Digital Journal, Senin (9/11).
Berbicara kepada ratusan Muslim yang berkumpul untuk sholat Jumat di Islamic Center Vienna yang menampung masjid utama kota, imam masjid mengutuk segala bentuk kekerasan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Ia juga menekankan agar orang tua waspada terhadap ekstremis yang mencoba meradikalisasi anak-anak mereka.
Ibadah di masjid-masjid di seluruh Austria dipersembahkan untuk para korban serangan itu, yang dilakukan oleh seorang pemuda berusia 20 tahun dengan kewarganegaraan ganda Austria dan Makedonia. "Siapa pun yang melakukan tindakan seperti itu tidak dapat diterima, dan kami tidak dapat menganggapnya sebagai Muslim," kata Direktur Islamic Center Vienna, Ahmed Al Mofareh.
Seorang jamaah di masjid tersebut mengatakan, pria bersenjata pelaku penyerangan itu tidak memahami agama Islam. Namun, ia merasa khawatir itu akan berbalik pada komunitas mereka.
Sementara itu, ayah Hosna, Khalid, mengatakan tindakan putranya merupakan cerminan sejati dari nilai-nilai Islam. Budaya mereka, agama dan doktrin mereka mengatakan mereka harus membantu orang lain.
"Setidaknya itu yang bisa kami lakukan untuk Austria," ujarnya.
Osama sendiri (23 tahun) dengan bangga memakai emblem polisi yang diberikan kepadanya oleh rekan-rekan dari petugas yang terluka yang dia bantu selamatkan. Meski didesak oleh petugas polisi lain untuk lari dan menyelamatkan dirinya, Hosna menempelkan kaus abu-abunya ke luka tembak di paha polisi yang terluka dan membantunya membawanya ke ambulans.
Dia mengidentifikasi dirinya dan mereka yang ditembak sebagai sesama Muslim dan mencoba berbicara dengan penyerang dalam bahasa Arab untuk menghentikan penembakan. Stasiun TV di seluruh dunia telah menghubungi pemuda, yang baru saja bertunangan, tersebut untuk mengingat kejadian tersebut.
Keluarga Hosna sendiri berasal dari Jalur Gaza. Karena itu, presiden Palestina Mahmud Abbas telah menelepon Osama untuk memberi selamat kepadanya.
Osama dan komunitas Muslim lainnya di Austria tidak asing dengan diskriminasi. Osama mengingat tatkala ia berhenti dari pekerjaannya sebagai tukang listrik karena dia diintimidasi lantaran memiliki nama depan yang sama dengan almarhum pemimpin Alqaidah Osama bin Laden.
Keluarga beranggotakan 11 orang itu juga ditampilkan dalam laporan media tahun lalu. Saat itu, keluarga tersebut menggabungkan pendapatan dan tabungan mereka untuk membeli rumah di desa kecil Weikendorf, sekitar satu jam dari Wina.
Namun, sang wali kota merasa keberatan. Ia menyebut budaya yang berbeda di dunia Islam dan Barat yang berjauhan dalam hal nilai, adat istiadat dan tradisi.
Karena itu, butuh perjuangan hukum selama setahun untuk akhirnya membeli rumah tersebut. Tetapi pada akhirnya, keluarga tersebut memutuskan menyewakannya dan malah tinggal di sebuah apartemen di Wina karena takut hidup di antara orang-orang yang tidak menginginkan mereka karena mereka adalah keluarga Muslim. Kendati begitu, ayah Hosna mengatakan mereka tidak ingin menghakimi seluruh komunitas dengan tindakan segelintir orang.
"Ada yang radikal di mana-mana," katanya.