Keberlanjutan Jadi Keharusan di Tengah Tantangan Covid-19
Arthur Mol ingatkan keberlanjutan jadi keharusan di Summer Course ESL FEM IPB
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim, tingginya populasi, malnutrisi, obesitas, dan eksploitasi sumberdaya alam berlebihan, dunia membutuhkan sejumlah upaya agar dapat lebih berkelanjutan, salah satunya dengan meningkatkan keterkaitan antara alam dan teknologi. Hal ini ditekankan oleh Prof. Arthur Mol, yang merupakan Rektor Universitas Wageningen Belanda (WUR), saat memberikan keynote speech pada acara Opening Ceremony International Summer Course Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan (ESL) FEM IPB University yang keempat, Jumat (20/11).
Wageningen University and Research (WUR) tercatat menempati ranking 1 universitas terbaik dunia untuk bidang Pertanian dan Kehutanan serta ranking 1 universitas terbaik di Belanda.
Prof Arthur Mol adalah tokoh dunia yang ikut mengembangkan teori Modernisasi Ekologi. Profesor bidang sosiologi lingkungan ini memiliki lebih dari 21 ribu sitasi dan hasil karya akademis lebih dari 20 buku dan ratusan jurnal ilmiah
Pada acara yang mengangkat tema besar ”Reducing Carbon Footprints: From Individual to Global Actions”, Arthur menekankan perlunya suatu transisi besar, dalam hal produksi, konsumsi, ekonomi, dan teknologi. Dihadapan hampir 500 peserta zoom meeting, yang berasal dari berbagai negara, Arthur menyampaikan semakin pentingnya peranan universitas yang memiliki fokus pada life science, seperti WUR dan IPB University dalam pendidikan, penelitian dan inovasi untuk mendukung transisi besar tersebut. Namun, Arthur mengingatkan bahwa hal tersebut tentu saja tidak dapat dilakukan sendiri, baik WUR maupun IPB University harus bekerja dengan instansi dengan bidang disiplin ilmu lain, terutama bidang teknik.
Selain Rektor Wageningen University, acara yang yang diselenggrakan secara virtual tersebut juga menghadirkan Begawan Ekonomi Lingkungan Indonesia, Prof. Emil Salim. Pada paparannya yang sangat inspiratif, Menteri lingkungan hidup pertama di Indonesia ini, menyampaikan beberapa pelajaran penting dari pandemi dari sudut pandang ekonomi lingkungan.
Emil menekankan, sebagai negara dengan bonus demografi, Indonesia tidak boleh hanya mengedepankan investasi fisik semata. Namun seharusnya investasi sumberdaya manusia lebih diutamakan. Karena tanpa perbaikan sumberdaya manusia maka Indonesia tidak akan mampu mengelola sumberdaya alamnya untuk menghadapi tantangan global, seperti yang disampaikan pembicara sebelumnya.
Legenda ekonomi lingkungan yang telah berusia 90 tahun ini juga menekankan bahwa teknologi merupakan kunci utama dalam perbaikan kualitas hidup.
Khususnya saat ini, investasi untuk meningkatkan intelektualitas dan kemampuan dalam membangun teknologi untuk menanggulangi Covid-19 sangatlah penting. Contohnya sangat nyata, selama pandemi Covid-19, ekonomi baru telah muncul, dimana bekerja dapat dilakukan secara jarak jauh dengan bantuan teknologi.
Di akhir paparannya, pendiri Yayasan KEHATI ini menekankan perlunya mengubah cara pandang dalam memanfaatkan sumber daya alam, dari ekploitasi semata, menjadi pengayaan (enrichment) melalui peningkatan nilai tambah, dan hal tersebut dapat dicapai melalui ilmu pengetahuan dan teknologi.
Secara reguler sejak tahun 2019, Departemen ESL FEM IPB melaksanakan program Summer Course internasional dengan tema yang berbeda-beda. Summer Course ke-4 yang akan dilaksanakan selama tanggal 20 November – 5 Desember 2020 ini mengambil tema ”Reducing Carbon Footprints: From Individual to Global Actions”. Tema ini sesuai dengan Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 11 (pembangunan berkelanjutan), 12 (konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab), 13 (penanganan perubahan iklim), 14 (menjaga sumberdaya laut) dan 15 (menjaga ekosistem darat).
Ketua penyelenggara Summer Course Departemen ESL, Dr. Meilanie Buitenzorgy menjelaskan bahwa Summer Course ESL ke-4 ini adalah program edukasi online yang bertujuan membekali peserta dengan pengetahuan seputar seluk beluk emisi karbon di berbagai sektor dan level (individu hingga global), serta pengetahuan untuk merencanakan aksi pengurangan emisi karbon dimulai dari diri sendiri. Program intensif dua minggu ini setara dengan mata kuliah 3 SKS yang biasanya berlangsung selama satu semester penuh.
Program ini berhasil menarik peserta sebanyak 350 orang yang berasal dari 21 negara termasuk Rusia, Brazil, Australia, China, Mesir, Afghanistan, India, Nigeria, Vietnam hingga Haiti.