Bella Hadid Kisahkan Masa Kecil Nikmati Ramadhan dan Id
Bella Hadid terbuka berbicara mengenai akar budayanya sebagai orang Palestina.
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Supermodel Bella Hadid bukanlah orang yang akan menghindar dan menolak merangkul masa lalunya. Warisan budaya yang ia miliki, tetap dipeluk meski tumbuh di Amerika, jauh dari budaya dan tanah airnya.
Berbicara tentang warisan budaya Arabnya, ikon fashion berusia 23 tahun, menceritakan bagaimana dia belajar banyak tentang budaya Palestina melalui ayahnya, Mohamed Hadid, kepada majalah Harper’s Bazaar.
Takk hanya itu, dalam wawancara itu ia juga berbicara tentang bagaimana wanita Arab menginspirasinya. Hal ini ia rasakan selama mengunjungi Masjid Agung Sheikh Zayed di Abu Dhabi.
“Itu adalah hari terbaik dalam hidup saya, ketika saya pergi dan melihat masjid di Abu Dhabi. Saya berbicara dengan semua wanita dan pria Arab dan akhirnya memahami budaya lebih dari yang pernah saya kuasai," kata dia dilansir di The International News, Selasa (24/11).
Mengenai masa kecilnya, saat ia menghabiskan Idul Fitri dan Ramadhan bersama ayah dan keluarga besarnya, ia menyebut sang ayah akan mengajari keluarga tentang poin penting Ramadhan. Bella menyebut, bersama-sama dengan seluruh anggota keluarga, semuanya menjalankan puasa Ramadhan dan merayakan Idul Fitri.
"Saya melakukannya sejak masih kecil. Begitu saya bertambah besar, saya bekerja dan pergi ke sekolah, jadi saya tidak bisa berpuasa selama itu," ujarnya.
Sang Ayah disebut sangat bersemangat menyambut hari-hari istimewa itu. Hal itu pula yang membuatnya merasa sangat bersemangat mempelajari akar budayanya.
Dia juga terbuka tentang kondisi ayahnya yang merupakan imigran dari Palestina di AS. Mohamed Hadid merupakan seorang pengungsi yang pergi ke AS ketika masih bayi.
Ia merasa bersyukur ayahnya bisa sampai di AS dengan kondisi selamat. Ia tidak memungkiri jika kondisi bagi para pengungsi saat itu sangat sulit, yang bahkan untuk saat ini kondisinya mungkin 100 kali lebih sulit.
Bella juga merasa sedih melihat kondisi dimana banyak orang diambil kuasanya sehingga tidak bisa membuat kehidupan baru di AS. Terlebih, kondisi ini mempengaruhi keluarga dan anak-anak para pengungsi.
"Sungguh kondisi ini gila bagi saya, melihat ada satu orang yang dapat menentukan apakah orang lain dapat memiliki kehidupan yang lebih baik atau tidak," kata dia.