Ekspor Perikanan RI Baru 4 Persen dari Total Produksi
Peluang RI meningkatkan ekspor hasil perikanan masih sangat besar.
REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON – Hingga saat ini China masih menjadi produsen ikan terbesar di dunia, yakni 60 juta ton per tahun (data tahun 2019). Indonesia berada di peringkat kedua, yakni 24 juta ton per tahun.
Namun, kata pakar kelautan dan perikanan dari IPB University Bogor, Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS, jumlah ekspor perikanan Indonesia masih relatif rendah. “Ekspor produk perikanan Indonesia masih sangat kecil. Yakni, 1 juta ton atau sekitar 4 persen dari total produksi perikanan Indonesia per tahun,” kata Prof Rokhmin Dahuri pada acara Focus Group Discussion (FGD) BKIPM-Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang digelar di Cirebon, Jawa Barat, Selasa (24/11).
Menurut Rokhmin, jumlah ekspor hasil perikanan Indonesia masih sangat kecil. “Jadi artinya peluang bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan ekpsor perikanan masih sangat besar,” ujarnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Ia menambahkan, nilai ekspor perikanan Indonesia tahun 2019 hanya 4,5 miliar dolar AS. Indonesia berada di ranking ke-15 dunia dalam ekspor hasil perikanan. Padahal dalam hal produksi, RI nomor dua.
“Berarti ada sesuatu yang salah. Mungkin kita malas mengolah, dan malas memenuhi persyaratan yang dibutuhkan oleh negara-negara pengimpor, karena hal itu sangat penting,” tuturnya.
Rokhmin menegaskan, bicara ekspor itu adalah ujungnya. Untuk bisa mengekspor dalam kuantitas dan nilai yang bagus, itu harus dari hulunya, dari penangkapannya, dari budidayanya. “Kemudian di tengahnya industri pengolahannya, selanjutnya cara-cara kita memasarkan, baik di dalam negeri maupun luar negeri,” kata Rokhmin.
Ia menyebutkan, setidaknya ada 16 permasalahan dan tantangan pembangunan kelautan dan perikanan. Antara lain, sebagian besar usaha perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan dilakukan secara tradisional dan berskala usaha kecil dan mikro; ukuran unit usaha (bisnis) perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan sebagian besar tidak memenuhi skala ekonomi (economy of scale); sebagian besar usaha perikanan belum dikelola dengan menerapkan Sistem Manajamen Rantai Pasok Terpadu (Integrated Supply Chain Management System), yang meliputi subsistem Produksi – Industri Pasca Panen – Pemasaran; serta ada umumnya, tingkat pemanfaatan perikanan tangkap, perikanan budidaya, bioteknologi perairan, sumber daya non-perikanan, dan jasa-jasa lingkungan kelautan belum optimal (underutilized).
Dari sisi nelayan, banyak yang terjerat rentenir; posisi mereka dalam sistem tata niaga sangat tidak diuntungkan; serta derajat kesehatan nelayan pada umumnya relatif rendah dan kurang gizi.
Dari sisi lingkungan, terjadi overfishing di beberapa wilayah perairan; pencemaran ekosistem, serta dampak negatif perubahan iklim global.
“Hal lain adalah rendahnya akses nelayan dan pembudidaya ikan kepada sumber pemodalan (kredit bank), teknologi, infrastruktur, informasi, dan aset ekonomi produktif lainnya; kualitas SDM nelayan relative rendahl; dan kebijakan politik ekonomi kurang kondusif,” paparnya.
Rokhmin yang juga koordinator Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – 202 lalu memaparkan langkah-langkah pembangunan perikanan tangkap yang menyejahterakan dan berkelanjutan, antara lain membangkan 10.000 armada kapal ikan nasional modern (> 50 GT dengan alat tangkap purse seine, long lines, atau pukat ikan) untuk menangkap ikan di WPP – ZEEI (> 12 mil – 200 mil); revitalisasi dan pembangunan pelabuhan perikanan baru sebagai kawasan industri perikanan terpadu di wilayah-wilayah terdepan NKRI; perampungan pembangunan dan percepatan operasionalisasi 13 SKPT atau di lokasi lain (atas prakarsa perusahaan swasta) sebagai Kawasan Industri Perikanan Terpadu; dan modernisasi dan peningkatan kapasitas nelayan tradisional dengan penggunaan fishing technology yang lebih produktif, efisien, dan ramah lingkungan.
Selanjutnya, Rokhmin menjelaskan langkah-langkah pembangunan perikanan budidaya yang produktif, eisien, berdaya saing, menyejahterajab dan berkelanjutan antara lain, revitalisasi semua usaha (bisnis) budidaya laut (mariculture), budidaya perairan payau (tambak), PUD, kolam air tawar, dan wadah lainnya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan; pengembangan usaha budidaya tambak udang Vaname seluas 500.000 ha (17 persen total potensi lahan), ; serta pengembangan budidaya lobster sebesar 50 persen total potensi benih, sehingga Indonesia menjadi produsen lobster terbesar di dunia.
“Selain itu, fevitalisasi dan ekstensifikasi budidaya rumput laut di perairan laut, pengembangan industri pengolahan rumput laut (hilirisasi); serta revitalisasi dan pengembangan budidaya laut untuk komoditas-komoditas unggulan lainnya,” ujarnya.
Ia juga mengemukakan pembangunan industri pengolahan hasil perikanan dan pemasaran. Yakni, penguatan dan pengembangan teknologi penanganan (handling) dan transportasi hasil perikanan; peningkatan kualitas dan daya saing produk industri pengolahan hasil perikanan tradisional; dan peningkatan kualitas dan daya saing produk industri pengolahan hasil perikanan modern.
“Dengan strategi pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan seperti di atas, Insya Allah Indonesia akan maju, adil-makmur, dan berdaulat; dengan GNI perkapita dari 4.050 dolar AS saat ini menjadi 8.000 dolar AS pada 2025, 13.000 dolar AS pada 2030, dan 19.300 dolar AS pada 2045,” paparnya.
Ketua Panitia Pelaksana FGD BKIPM-KKP, Obing Hobir As’ari mengatakan FGD tersebut diikuti sekitar 130 peserta dari seluruh Indonesia dan JKRI Ekonomi di Sydney, Australia (virtual). Adapun nara sumber FGD adalah Prof Rokhmin Dahuri dan Agnes Marcellina Tjhin (wakil Ketua Umum Bidang Sinergi Dunia Usaha Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik Kelautan dan Perikanan).