Psikiater Bagi Cara Atasi Stres Pilkada Saat Pandemi

Waspadai stres berdampak negatif yang berujung ke gangguan kejiwaan.

Wihdan Hidayat / Republika
Warga usai menggunakan hak pilih Pilkada Kabupaten Boyolali di tempat pemungutan suara (TPS) 6, Barak Pengungsian Tlogolele, Boyolali, Jawa Tengah, Rabu (9/12). Sebanyak 422 pemilih dari kawasan rawan bencana (KRB) 3 Gunung Merapi Desa Tlogolele menggunakan hak pilih di TPS pengungsian. Pilkada Kabupaten Boyolali hanya ada satu pasang calon bupati dan wakil bupati melawan kotak kosong. Pada Pilkada ini menggunakan protokol kesehatan Covid-19, untuk menghindari penyebaran Covid-19.
Rep: Idealisa Masyrafina Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Momen Pilkada biasanya disertai stres yang panjang bagi para kontestan dan tim sukses. Namun, Pilkada di tengah pandemi dapat menyebabkan stres bagi seluruh aspek masyarakat, hingga para pemilih.

Meskipun berbagai hal sudah dipersiapkan, bermacam kekhawatiran juga muncul. Berbagai stres saat Pilkada di tengah pandemi seperti khawatir datang ke TPS karena virus corona, cemas menunggu hasil pilkada, kecewa dengan hasil yang tidak diharapkan, dan lainnya.

"Dalam Pilkada seperti saat ini, kita perlu mewaspadai munculnya stres yang dapat terjadi pada paslon, caleg, tim sukses, keluarga, relawan, simpatisan atau masyarakat biasa," ujar Psikiater RS.dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor dr.Lahargo Kembaren,SpKJ kepada Republika.co.id, Rabu (9/12).

Dokter Lahargo menjelaskan, stres ada yang positif dan negatif. Stres positif (disebut juga eustress) membuat seseorang menjadi pribadi yang lebih baik. Sedangkan negatif (distress) menyebabkan munculnya berbagai masalah psikologis yang menyebabkan terganggunya fungsi dan produktivitas.  

Setiap orang akan memberikan respons stres yang berbeda dalam menghadapi stresor yang terjadi dalam hidupnya. Menurut dr. Lahargo, respons stres ini sebenarnya bertujuan menyelamatkan, memberikan kesiapsiagaan dalam menghadapi suatu tantangan.

Stres berdampak negatif apabila terjadi dalam porsi yang lebih besar dan waktu yang lebih lama serta kurangnya baiknya manajemen stres yang dimiliki oleh seseorang. Tidak jarang stres yang berdampak negatif ini berujung pada masalah atau gangguan kejiwaan.

Berikut gejala-gejala stres:
- Gejala kognitif yang terdiri dari masalah ingatan, sulit berkonsentrasi, membuat keputusan yang buruk, hanya melihat dari sudut pandang yang negatif, dan rasa cemas terhadap berbagai hal yang terus menerus muncul.

- Gejala fisik terdiri dari gatal/nyeri di berbagai bagian tubuh, diare, sulit buang air besar, mual dan pusing, nyeri dada dan jantung berdebar, hasrat seksual yang menurun dan terasa dingin di ujung jari.

- Gejala emosi yakni mood yang labil, mudah emosi/marah/tersinggung, gelisah, tidak bisa tenang, merasa sendirian dan terisolasi hingga depresi, sedih, perasaan tidak gembira.

Sedangkan gejala perilaku bisa terlihat dari nafsu makan meningkat atau malah menurun, sulit tidur / terlalu banyak tidur, tidak mau bersosialisasi, menunda-nunda pekerjaan dan tanggung jawab, menggunakan alkohol, merokok, narkoba untuk mencoba rileks. Selain itu juga menunjukkan perilaku cemas seperti menggigit kuku, mondar mandir, melirik kiri kanan.

Apabila ditemukan gejala-gejala seperti di atas berarti, kata dr. Lahargo, ini berarti gejala negatif stres sedang menghinggapi kita. "Ini hal yang kurang baik, ada yang tidak pas dengan keseimbangan mental kita dan perlu dilakukan intervensi agar bisa kembali normal," kata dr. Lahargo.


Baca Juga


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler