Media Sosial dan Rentan Terumbarnya Aurat Perempuan
Islam Meletakkan Batasan Aurat Bagi Perempuan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Menurut riset Finance Online, yang mengambil data dari PEW, Nielsen, dan Burst Media, wanita ternyata lebih sering menggunakan media sosial dibandingkan pria.
Platform yang populer bagi kaum hawa ini adalah Facebook, Tumblr, Pinterest, Instagram, dan Twitter. Namun, yang lebih menarik lagi dari riset tersebut, wanita ternyata lebih sering mengakses media sosial melalui perangkat gawai.
Sebanyak 46 persen wanita menggunakan smartphone untuk mengecek atau melakukan beragam aktivitas di media sosial. Sementara itu, hanya 43 persen pria yang menggunakan telepon pintar untuk berinteraksi di media sosial.
Dikuti dari Techcrunch, fakta yang mengungkap wanita lebih banyak mengakses media sosial ini bukan hal yang baru. Riset yang dilakukan lima tahun belakangan juga menunjukkan hasil yang sama.
Keaktifan kaum hawa di media sosial mulai dilirik karena fungsinya yang telah bergeser, dari wadah untuk mendapatkan informasi menjadi wadah untuk unjuk diri hingga kontes kecantikan. Semakin berkembangnya fesyen juga membuat fungsi busana tak lagi sebagai penutup aurat, tapi untuk memamerkan kecantikan dan keelokan tubuh.
"Hampir semua mode pakaian perempuan dewasa ini menjadi bukti kebingungan antara mereka benar-benar berpakaian atau justru telanjang," tulis Quraish Shihab dalam bukunya berjudul Perempuan yang dikutip Republika.co.id. "Pada akhirnya yang rugi adalah perempuan itu sendiri," sambungnya.
Maka sudah sepatutnya setiap Muslim untuk bijak dalam bersosial media, dengan menghindari mengunggah atau membagikan foto atau video berpose vulgar atau yang dapat memancing syahwat. Allah SWT berfirman dalam surah An-Nur ayat 31:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ "Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah, 'hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya."
Syekh Ibnu Al Arabi Al Maliki dalam kitab Ahkam Alquran membagi 'perhiasan' yang dimaksud dalam ayat tersebut menjadi dua. Pertama, yaitu bersifat khilqiyyah seperti keindahan fisik seperti wajah dan pergelangan tangan. Kedua, bersifat mukhtasabah atau yang dapat diupayakan seperti pakaian, aksesoris, kosmetik, dan lain-lain.
Khusus untuk wajah apakah termasuk aurat atau tidak, Imam Ibnu Jarir Ath Thabari dalam Jami Al Bayan 'An Tawil ayil Quran mengemukakan beberapa pendapat dari sejumlah ulama. Pendapat pertama menyatakan yang boleh terlihat dari wanita hanya pakaian. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Mas'ud dan Al Hasan.
Sedangkan pendapat kedua menyatakan perhiasan wanita yang boleh terlihat adalah celak pada mata hingga wajah. Juga cincin dan gelang sehingga pergelangan tangan menjadi terlihat. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan Sa'id ibn Jubair. Sedangkan pendapat yang dikemukakan oleh Imam Qatadah dari Al Hasan menyatakan bagian wanita yang boleh terlihat adalah wajah dan pakaiannya.
Dari ketiga pendapat ini, Ath-Thabari lebih condong kepada pandangan yang membolehkan wajah dan pergelangan tangan wanita terlihat. Sehingga perhiasan apapun di kedua bagian tubuh tersebut dibolehkan terlihat. Sedangkan Ibnu Jarir menyatakan ijm ulama menyatakan perempuan harus membuka wajah dan telapak tangannya ketika sholat dan menutup sisanya.
Imam Bukhari dan Muslim serta Ashhabus Sunan meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa seorang perempuan dari Khats'am meminta fatwa kepada Rasulullah SAW pada waktu haji wada. Saat itu, Al Fadhl bin Al Abbas bersama Nabi dalam satu kendaraan.
علي بن أبي طالب : أن رسول الله أردف الفضل ثم أتى الجمرة فرماها، ثم أتى المنحر. فقال هذا المنحر ومنى كلها منحر. واستفتته جارية شابة من خثعم فقالت: «إن أبي شيخ كبير قد أدركته فريضة الله في الحج، أفيجزئ أن أحج عنه؟». قال: «حجي عن أبيك». قال ولوى عنق الفضل، فقال العباس: «يا رسول الله. لم لويت عنق ابن عمك؟». قال: «رأيت شابّاً وشابة، فلم آمن الشيطان عليهما
Dalam satu riwayat disebutkan Al Fadhl bin Abbbas melirik perempuan itu yang ternyata berwajah cantik. Nabi SAW pun memalingkan wajah Al Fadhl ke arah lain. Kemudian, Al Fadhl bertanya, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau palingkan anak pamanmu?" Rasulullah pun menjawab, "Saya melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, maka saya merasa tidak aman akan gangguan setan terhadap mereka berdua."
Syekh Qaradhawi menjelaskan, sebagian ahli hadits dan fuqaha (ahli fiqih) melakukan istimbat (menetapkan sesuatu dengan mengambil sumber) dari hadits ini tentang bolehnya melihat wajah wanita jika aman dari fitnah.
Nabi SAW pun tidak memerintahkan wanita tersebut menutup wajahnya. Jika wajah tertutup, Ibnu Abbas tidak akan tahu apakah wanita itu cantik atau jelek. Para ahli hadits dan fuqaha (ahli fiqih) pun berkata, "Kalaupun Ibnu Abbas tidak mengerti bahwa melihat wajah wanita itu boleh, niscaya dia tidak bertanya kepada Nabi. Seandainya pemahaman itu tidak benar, niscaya tidak diakui oleh Nabi SAW."
Syekh Qaradhawi kemudian melanjutkan, peristiwa ini pun terjadi setelah turunnya ayat tentang hijab karena haji wada terjadi pada tahun 10 Hijriyah sedangkan ayat hijab pada 5 Hijriyah.
Memakai cadar, niqab, atau burqa pun dinilai Syekh Qaradhawi sebagai bentuk sebuah tradisi yang dikenal pada masa Islam. Menurut dia, tradisi tersebut dibuat demi kehati-hatian mereka sebagai tindakan preventif. Akan tetapi, bukan sebagai perintah agama.