Lelah Tangani Corona, Nakes Curhat kepada Ibu Gubernur Babel
Jumlah tenaga kesehatan yang minim membuat para perawat harus pintar mengatur waktu
REPUBLIKA.CO.ID, PANGKALPINANG -- Tenaga Kesehatan Wisma Karantina BKPSDM Ani (26 tahun) dan Dwi (28 tahun) meyampaikan keluh kesahnya kepada Ketua Tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) Melati Erzaldi di Wisma Karantina BKPSDMD Babel, Kamis (24/12) lalu.
“Awalnya tidak ada yang mau menjadi perawat di wisma karantina, cuma kami bertiga. Itupun berat sekali, keluarga mengikhlaskan kami bekerja di wisma ini. Sekarang total delapan orang perawat, tapi dua lagi akan balik ke rumah sakit provinsi,” ungkap Ani.
Jumlah tenaga kesehatan yang sangat minim membuat para perawat harus pintar mengatur waktu. Dengan kekuatan delapan personel mengurusi empay wisma sudah jelas tidak ada libur bagi mereka. Ambulans pasien Covid-19 juga datang tak kenal waktu, ini mengakibatkan para perawat harus siap 24 jam ketika diperlukan.
“Kadang kita baru mau makan, tiba-tiba ambulans datang. Hal ini memaksakan kami menunda lapar dengan cara bersabar,” ungkap Dwi, dikutip dari laman resmi Pemprov Babel, Ahad (27/12).
Dalam menjalankan tugasnya, para perawat tinggal di wisma dan memilih untuk tidak pulang agar tidak menularkan virus kepada anggota keluarganya. Ketika terjadi penurunan pasien, sebagian perawat diperbolehkan untuk pulang. Tapi angka penurunan tidak terjadi dalam dua bulan belakangan.
“Kami jarang pulang Bu, dan kalaupun diizinkan pulang anak-anak pengen meluk, makanya saya kalo pulang nyelinap ke belakang untuk mandi dulu baru kumpul sama anak-anak,” ungkapnya.
Perawat ini mengaku jika pasien banyak, mereka hanya bisa melakukan video call sebagai bentuk semangat dari keluarga. "Kasian anak saya masih kecil malah nggak bisa dapat perhatian ibunya,” ungkap Ani.
Sebagai seorang ibu, Ketua TP PKK Melati Erzaldi merasakan yang telah dirasakan oleh para tenaga kesehatan ini, ditambah kondisi pandemi membuat dirinya semakin jarang bertemu anak-anak.
“Saya sebagai ibu paham sekali apa yang ibu-ibu rasakan, anak saya bertanya ‘kapan pulang?’, tapi saya masih belum punya jawabannya. Berat sekali rasanya. Padahal anak-anak saya sudah besar, saya gak kebayang kalo harus ninggalin anak-anak pas masih kecil. Tentu ini jadi beban buat ibu-ibu semua,” ungkapnya.
Para perawat meminta agar Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) segera diberlakukan di Bangka Belitung dengan harapan dapat memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19 dan mengurangi beban para perawat.
“Saya capek, tenaga kesehatan kurang, kami hanya berdelapan. Kami gak kuat, gak ada libur. Dengan kebutuhan pasien yang banyak. Gak enak bu, susah ketemu keluarga, jaga jarak sama anak, tiap hari anak nanya, kita bingung jawabnya. Hari ini sudah bilang besok pulang, kalau besok saya belum bisa pulang, saya jawab apa sama anak saya,” ungkap Dwi.
Koordinator Keperawatan Wisma Karantina Covid-19 Provinsi Bangka Belitung, Sayang Permatasari menyampaikan, masyarakat di luar sana yang masih tidak peduli dengan virus Covid-19 harus paham sebagai sesama manusia. Tidak perlu jauh memikirkan orang lain, cukup peduli terhadap dirinya sendiri. Pasien diisolasi 10 hari ruang gerak dan akses sosialnya dibatasi. Tidak hanya fisik tapi menjadi tekanan untuk psikis.
Ketua TP PKK Melati berpesan, pandemi ini belum berakhir, semua pihak harus serius menanganinya. Menurutnya, sesama manusia harus terus saling mengingatkan untuk peduli karena, tidak banyak yang mau jadi tenaga kesehatan menanangani pasien Covid-19.
“Sungguh mulia pekerjaan tenaga kesehatan, semoga apa yang telah dikerjakan terus diberkahi Allah SWT, kami akan selalu dukung,” pungkasnya.