Pasal 2d Maklumat FPI dan Lonceng Ancaman Kebebasan Pers
Pakar hukum dan komunitas pers mengecam keras pasal 2d maklumat FPI dari Polri
REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Rizkyan Adiyudha
JAKARTA -- Kasus pembubaran Front Pembela Islam (FPI) masih bergerak dinamis. Kepolisian Indonesia (Polri) kini mengeluarkan maklumat soal FPI yang beberapa isinya bersinggungan langsung dengan demokrasi dan kebebasan media.
Kado awal tahun ini disampaikan Kapolri Jenderal Idham Azis. Kapolri melarang masyarakat untuk mengakses hingga menyebarluaskan konten terkait FPI. '
Hal tersebut mengacu pada penerbitan maklumat bernomor Mak/1/I/2021 tentang Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI.
"Masyarakat tidak mengakses, mengunggah dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial," demikian salah satu poin Maklumat Kapolri yang diterbitkan pada Jumat (1/1).
Maklumat juga melarang masyarakat untuk tidak terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam mendukung dan memfasilitasi kegiatan serta menggunakan simbol dan atribut FPI.
Publik diminta segera melaporkan kepada aparat berwenang apabila menemukan kegiatan, simbol dan atribut FPI serta tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum.
Menurutnya, maklumat dikeluarkan guna memberikan perlindungan dan menjamin keamanan serta keselamatan masyarakat usai dikeluarkan keputusan bersama tentang larangan kegiatan, penggunaan simbol dan atribut serta penghentian kegiatan FPI.
Sontak, maklumat FPI ini mencuatkan kontroversi serius. Berbagai kalangan menyoal salah satu isi maklumat pada poin 2d yang mengatakan "masyarakat dilarang untuk mengakses, mengunggah dan menyebarluaskan konten terkait FPI baik melalui website maupun media sosial."
Ketua Dewan Pers Muhammad Nuh menegaskan media massa baik cetak, online, radio, dan televisi memiliki hak untuk menyiarkan pemberitaan mengenai FPI.
M Nuh menyatakan media massa tetap berhak memberitakan sejauh seluruh pemberitaannya memenuhi Kode Etik Jurnalistik.
Desakan tegas disampaikan Komunitas Pers, yang meminta Kapolri mencabut Pasal 2d dalam maklumat FPI.
Komunitas Pers menganggap Pasal 2d dalam Maklumat Kapolri itu tidak sejalan dengan semangat Indonesia sebagai negara demokrasi.
Komunitas Pers menyatakan, Pasal 2d Maklumat Kapolri itu tidak sesuai dengan amanat Pasal 28F UUD 1945.
Undang-Undang menjamin setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Berikutnya, Komunitas Pers menilai maklumat Kapolri itu mengancam tugas jurnalis dan media yang mencari dan menyebarkan informasi kepada publik, termasuk soal FPI. Hak wartawan untuk mencari informasi itu diatur dalam Pasal 4 Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Undang-Undang menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Isi Maklumat Kapolri yang akan memproses hukum siapa saja yang menyebarkan informasi tentang FPI, juga bisa dikategorikan sebagai "pelarangan penyiaran" dan bertentangan dengan pasal 4 ayat 2 Undang Undang Pers.
Pernyataan Komunitas Pers ini diinisiasi Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Atal S Depari, Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Hendriana Yadi, Sekretaris Jenderal Pewarta Foto Indonesia (PFI) Hendra Eka, Ketua Forum Pemimpin Redaksi (Forum Pemred) Kemal E Gani, serta Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut.
Komunitas Pers mendesak Kapolri mencabut Pasal 2d dalam Maklumat itu karena mengandung ketentuan yang tak sejalan dengan prinsip negara demokrasi. Komunitas Pers mengimbau pers nasional terus memberitakan berbagai hal yang menyangkut kepentingan publik seperti yang sudah diamanatkan undang-undang.
Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar mengkritik Maklumat Kapolri poin 2d. Dia menilai pelarangan tersebut menjadi sebuah lonceng kematian bagi demokrasi.
"Melarang orang mengakses sebuah info pemberitaan apa saja adalah tindakan otoriter dari sebuah pemerintahan," kata Abdul Fickar Hadjar di Jakarta, Jumat (1/1).
Lebih jauh dia menilai pemerintah seharusnya bertindak secara demokratis dengan berdasarkan hukum. Sebuah negara demokrasi dan hukum pemerintahan manapun tidak bisa dan tidak berhak membubarkan sebuah organisasi.
Organisasi adalah perwujudan dari HAM dan kebebasan berpikir mengeluarkan pendapat dan berkumpul yang dijamin oleh konstitusi. Artinya, sambung Abdul, otoritas yang membubarkan organisasi dari masyarakat pemerintahan yang sudah tidak menghargai konstitusinya sendiri.
"Jika alasannya karena banyak melakukan tindakan yang melanggar hukum, maka harus dipisahkan antara organisasi dengan pengurusnya atau orang yang dianggap melanggar hukum. Maka yang harus diproses sebagai konsekuensi negara hukum adalah oknum-oknum yang melanggar hukum itu," katanya.
Polri akhirnya mengklarifikasi makna pesan pada poin 2d maklumat FPI. Kepolisian mengatakan kalau poin tersebut tidak dimaksudkan untuk membatasi kebebasan berekspresi.
"Yang terpenting bahwa dikeluarkan maklumat ini kita tidak artinya itu membredel berita pers," kata Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Argo Yuwono di Jakarta, Jumat (1/1).
Konten terkait FPI masih diperbolehkan asal tidak bermuatan berita bohong, berpotensi menimbulkan gangguan kamtibmas, provokatif mengadu domba ataupun perpecahan, dan SARA.
Argo mengatakan konten yang tidak memiliki unsur-unsur tersebut maka masih diperbolehkan.
"Kalau mengandung itu tidak diperbolehkan apalagi nanti mengakses atau mengunggah ataupun menyebarkan kembali yang dilarang maupun yang ada tindak pidananya UU ITE misalnya itu tidak diperbolehkan itu di sana," katanya.
Argo menegaskan maklumat kapolri tidak akan bersinggungan dengan UU Pers ataupun kebebasan berekspresi.
Dia menekankan bahwa konten yang dinilai melanggar maklumat tersebut jika bermuatan provokatif, berita bohong, potensi gangguan kamtibmas atau SARA.