Pro Kontra Normalisasi Pilkada, Setelah atau Bareng Pilpres?

Pilkada serentak di 2024 dipandang lebih realistis saat pandemi.

ANTARA FOTO/Didik Suhartono
Distribusi logistik pilkada (ilustrasi). Normalisasi pilkada di 2022 dan 2023 masih menjadi perdebatan di DPR dalam revisi UU Pemilu. PDIP misalnya menolak normalisasi dan meminta pilkada tetap digelar pada 2024.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Haura Hafizhah, Rizky Suryarandika, Febrianto Adi Saputro

Wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah (pilkada) kembali ke tahun 2022 dan 2023 mengemuka lewat rencana revisi UU Pemilu. Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin, menilai pilkada yang akan digelar serentak pada 2024 membuat daerah tidak sehat. Sebab, para pelaksana tugas (Plt) akan menganggur selama dua tahun.

"Pilkada bagusnya diadakan di 2022 dengan catatan pandemi Covid-19 mengalami penurunan atau landai. Lalu, di 2022 banyak kepala daerah yang masa jabatannya habis ya sekitar 101 daerah. Jika memang pilkada tetap diadakan pada 2024, maka akan terjadi keramaian karena juga akan ada pemilu. Selain itu, para Plt menganggur selama dua tahun. Plt tuh tidak lama ya paling enam bulan menjelang pilkada," katanya saat dihubungi Republika, Jumat (29/1).

Kemudian, ia melanjutkan terdapat salah satu partai yang setuju dengan pilkada yang diadakan pada 2024 yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Menurutnya, PDIP akan mengambil keuntungan pada Pilkada 2024.

"PDIP itu kan partai pemerintah dan partai penguasa. Kenapa dia maunya Pilkada 2024? karena PDIP mau mengambil daerah strategis yaitu DKI Jakarta. Anies Baswedan kan sudah tidak berdaya dan tidak punya kekuasaan. Maka, di 2024 itu PDIP mau mengambil kemenangannya lagi," kata dia.

Ia juga melihat saat ini partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) sedang mendekati Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan serta menentukan pilihan ingin pilkada pada 2022 atau 2024.  "Ya saya liat Gerindra lagi mendekati Anies. Nanti hasilnya kami bisa tahu dari keputusan mereka (Anies dan Gerindra). Politik ini kan dinamis, ya. Bisa serba kemungkinan. Lihat nanti saja," kata dia.

Dalam pasal 173 ayat (2) RUU Pemilu dijelaskan bahwa pilkada yang digelar 2017 digelar pada 2022. Sedangkan dalam UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pilkada tahun 2022 dan 2023 dilakukan serentak pada 2024.

Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kendagri) menanggapi wacana revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diusulkan oleh DPR. Menurutnya, revisi saat ini tidaklah tepat.

"UU tersebut belum dilaksanakan. Tidak tepat jika belum dilaksanakan, sudah direvisi," ujar Bahtiar kepada wartawan, Jumat (29/1).

Menurutnya, UU Pemilu yang ada saat ini sebaiknya dilaksanakan terlebih dahulu. Jika ada kekurangan di dalamnya, barulah rencana revisi diperlukan demi Pemilu yang lebih baik.

"Sesuai dengan UU yang masih berlaku tersebut, maka jadwal pilkada berikutnya adalah 2024. Jadi, jika pilkada dilaksanakan sesuai jadwal, maka jadwalnya adalah 2024," ujar Bahtiar.

Di samping itu, melihat kondisi Indonesia yang saat ini menghadapi pandemi Covid-19, sebaiknya semua pihak untuk fokus menangani hal ini. "Saat ini kita sedang menghadapi pandemi, menghadapi krisis kesehatan dan perekonomian, seharusnya kita fokus untuk menyelesaikan krisis ini," ujar Bahtiar.






Baca Juga


Ketua DPP PDIP, Djarot Saiful Hidayat, menegaskan partainya melihat urgensi pilkada digelar sesuai jadwal pada 2024. Djarot menekankan partainya bersikukuh agar pilkada dan pilpres tetap diadakan di 2024.

Djarot menjelaskan desain pilkada serentak sudah diformulasikan sejak tahun 2015, 2017, 2018 dan 2020. Ia merasa heran karena ada pihak yang ingin mengubahnya dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang tengah dibahas di Parlemen. Padahal sesuai dengan UU nomor 10 tahun 2016, maka Pilkada gelombang ke-5 akan dilaksanakan pada 2024.

"Oleh karenanya sebaiknya kita laksanakan secara konsisten (pilkada serentak 2024), apalagi kita lagi menghadapi pandemi Covid-19," kata Djarot pada Republika, Jumat (29/1).

Djarot menimbang pelaksaan pilkada serentak di 2024 dirasa lebih realistis mengingat pandemi yang terjadi saat ini. Ia tak ingin pilkada dimajukan pelaksanaannya pada 2022 dan 2023 karena pemerintah sedang fokus menangani pandemi.

"Dalam situasi ini kita haus bijak untuk lebih mendahulukan kepentingan yang lebih besar yakni fokus untuk menghadapi pandemi dan memulihkan ekonomi rakyat," ujar mantan Wagub DKI Jakarta tersebut.

Djarot meragukan pandemi sudah berakhir pada 2022. Begitu juga perekonomian yang menurutnya masih merangkak. Sehingga ia merasa sebaiknya pilkada serentak diadakan sesuai jadwal awal pada 2024.

"Kepentingan-kepentingan politik elektoral sebaiknya diturunkan agar energi positif bangsa lebih diarahkan untuk mengatasi tantangan kesehatan dan ekonomi rakyat di masa pandemi," tegas anggota komisi II DPR itu.

Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu belum pasti akan direvisi atau tidak pada tahun ini. Meski sudah masuk ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2021, keputusannya akan ada di tingkat Badan Musyawarah (Bamus) DPR.

"Ini kan usulan DPR, nanti kan dibicarakan di paripurna di Bamus. Apakah dimasukkan menjadi list untuk tahun ini atau ditunda tahun depan," ujar Doli di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (28/1).

Dalam rapat Bamus tersebut, setiap fraksi di DPR akan diundang dalam memutuskan apakah RUU Pemilu akan dibahas pada 2021. Jika setiap fraksi setuju, maka Prolegnas Prioritas 2021 akan segera diparipurnakan dan RUU Pemilu akan dibahas mulai tahun ini.

"Kami akan rapat kembali meminta ketegasan dari masing-masing fraksi apakah ada pernyataan resmi dari parpol untuk dilanjutkan atau tidak. Kalau dari masing-masing parpol sepenuhnya memutuskan sepenuhnya ke Komisi II ya akan kami bicarakan," ujar Doli.


Sejumlah kegiatan dilarang pada masa kampanye Pilkada 2020 terkait pandemi Covid-19. - (Republika)







Bertolak belakang dengan PDIP, Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Almuzammil Yusuf, menyatakan partainya mendukung wacana penyelenggaraan pilkada di tahun 2022 dan 2023. Muzammil merasa khawatir penggabungan pilkada dan pilpres di tahun 2024 menimbulkan banyak masalah seperti di tahun 2019.

Muzammil meminta RUU Pemilu yang sedang dibahas di Parlemen harus meninjau pemilu serentak 2019. Berdasarkan pengamatannya, pemilu serentak 2019 mengandung permasalahan yang belum ada solusinya.

"Pengalaman pilpres dan pileg yang lalu (2019) diserentakkan kita masih menghadapi masalah kepadatan jadwal hingga banyak korban jiwa petugas TPS," kata Muzammil pada Republika. "Keserentakan pilkada di 2024 Kita undur atau tunda dulu," lanjut Muzammil.

Muzammil tak sepakat jika pilpres dan pilkada diadakan di tahun yang sama. Menurutnya, kondisi itu membuat tak optimalnya hajatan demokrasi per lima tahunan. Pihak penyelenggara pemilu akan kewalahan menyiapkan segala keperluan. Begitu juga partai politik yang harus bertarung di semua lini dalam waktu yang berdekatan.

"Walaupun pilkada akan di beda bulannya dengan pilpres tapi kerja pesta demokrasi akan tetap sangat meletihkan," ujar anggota komisi 1 DPR tersebut.

Muzammil juga menyoroti guyuran dana pada para pemilih selama hajatan demokrasi tergolong masif. Masalah inilah yang menurutnya lebih baik ditangani.

"Kualitas pemilu dan kualitas pilkada kita juga dari sudut money politic dan profesionalitas. Penyelenggara pemilu juga masih menghadapi tantangan yang berat," ucap Muzammil.

Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) turut mendukung pilpres 2024 digelar setelah pileg. Anggota Komisi II DPR Fraksi PAN, Guspardi Gaus, menilai usulan tersebut merupakan hal yang baik dan lebih ideal.

"Bagusnya begitu, itu lebih ideal dan lebih valid datanya ketimbang lima tahun yang silam," kata Guspardi.

Kendati demikian dirinya mengingatkan kembali terkait adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVII/2019 tentang desain keserentakan pemilu. Dalam putusannya MK mengamanatkan bahwa pemilihan presiden, anggota DPR, DPD tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

"Artinya yang diamanatkan MK itu keserentakan itu adanya di pilpres, DPR DPD, sedangkan pilkada rezimnya bisa berbeda namanya pemilu nasional ada pemilu lokal atau daerah, jadi itu yang diatur. Jadi yang nggak boleh nggak sama itu hanya pilpres, DPR, DPD," ujarnya.

Selain itu, Guspardi juga mempertanyakan arti keserentakan yang dimaksud di dalam putusan MK. Apakah yang dimaksud serentak tersebut adalah keserentakan tahun atau harus dilakukan dalam satu waktu pemilihan.

"Yang diserentak itu apa arti serentak? Kalau dilaksanakan dalam tahun yang sama tidak ada persoalan kita dahulukan legislatif baru presiden," katanya.

Oleh karena itu ia menilai perlu ada upaya hukum untuk mengubah putusan MK tersebut. Ia berharap upaya judicial review bisa kembali dilakukan penggiat demokrasi. Prinsipnya dirinya melihat bahwa usulan agar pilpres digelar usai pileg lebih kredibel dan lebih representatif ketimbang menggunakan hasil pileg 2019 lalu.   

"Kalau yang kemarin ini kan sudah jadi perdebatan, kok pemilunya 2019 hasil persyaratan itu pada 2014, kan gitu. Itu kan juga nggak pas," ungkapnya.



BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler