Prancis Desak Militer Bebaskan Pemimpin Sipil Myanmar

Menlu Prancis menyebut kudeta telah merusak proses demokrasi di Myanmar.

AP
Kendaraan pengendali kerusuhan polisi dan truk pengangkut diparkir di jalan menuju gedung parlemen pada Selasa (2/2), di Naypyitaw, Myanmar. Ratusan anggota Parlemen Myanmar tetap dikurung di dalam perumahan pemerintah mereka di ibu kota negara itu pada Selasa, sehari setelah militer melancarkan kudeta dan menahan politisi senior termasuk peraih Nobel dan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi.
Rep: Kamran Dikarma Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian mendesak militer Myanmar membebaskan para pemimpin sipil yang telah mereka tangkap. Dia menyebut kudeta telah merusak proses demokrasi di Myanmar.

Baca Juga


"Penangkapan ini, bersama dengan pengalihan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif kepada tentara, secara tidak dapat diterima merusak proses demokrasi yang dimulai sekitar satu dekade lalu," kata Le Drian pada Senin (1/2), dikutip laman Anadolu Agency.

Prancis menyerukan agar hasil pemilu Myanmar yang digelar pada 8 November tahun lalu dihormati dan diterapkan. Menurut Le Drian hal itu mencerminkan keinginan demokrasi dan kebebasan dari rakyat Myanmar.

"Prancis akan terus memberikan dukungannya kepada semua orang yang bekerja untuk demokrasi yang lebih besar, perdamaian abadi dan pembangunan ekonomi yang tidak mendiskriminasi dan menguntungkan semua orang," kata Le Drian.

Pada Senin lalu, militer Myanmar melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil di negara tersebut. Mereka menangkap Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior dari Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).

 

Kudeta dan penangkapan sejumlah tokoh itu merupakan respons militer Myanmar atas dugaan kecurangan pemilu pada November tahun lalu. Dalam pemilu itu, NLD pimpinan Suu Kyi menang telak dengan mengamankan 396 dari 476 kursi parlemen yang tersedia.

Di bawah konstitusi Myanmar yang dirancang pemerintahan militer pada 2008, tentara Myanmar dijamin memperoleh seperempat kursi parlemen. Konstitusi juga memberikan wewenang kepada militer Myanmar untuk mengontrol kementerian keamanan utama, termasuk urusan pertahanan dan dalam negeri.

Militer Myanmar telah mengumumkan keadaan darurat yang bakal berlangsung selama satu tahun. Sepanjang periode itu, militer akan mengontrol jalannya pemerintahan. Pemilu bakal digelar kembali setelah keadaan darurat usai. Militer berjanji akan menyerahkan kekuasaan kepada partai yang memenangkan pemilu mendatang. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler