JK: Bagaimana Kritik Pemerintah Tanpa Dipanggil Polisi?
JK menyinggung demokrasi Indonesia saat ini yang dikeluhkan dan dikritik banyak pihak
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia Muhammad Jusuf Kalla (JK) menyinggung demokrasi Indonesia saat ini yang dikeluhkan dan dikritik banyak pihak. Terbukti dari indeks demokrasi Indonesia yang mengalami penurunan sejak 14 tahun terakhir, berdasarkan survei dari The Economist Intelligence Unit (EIU).
Salah satu yang menjadi sorotan JK adalah pernyataan Presiden Joko Widodo yang meminta untuk adanya kritik terhadap pemerintah, di samping banyaknya permasalahan hukum dalam negeri yang tidak terselesaikan karena kritik. Padahal, demokrasi tak bisa lepas dari kritik dan aspirasi masyarakat yang merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM).
"Tentu banyak pertanyaan, bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi? Ini tentu menjadi bagian dari upaya kita," ujar JK dalam acara Mimbar Demokrasi Kebangsaan Fraksi PKS DPR dikutip dari Youtube PKS TV, Sabtu (13/2).
Secara etimologi, demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu 'Demos' yang berarti rakyat dan 'Kratos' yang berarti pemerintah. Sedangkan menurut mantan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln, arti besar demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Pengertian dari Lincoln inilah yang digarisbawahi oleh JK, demokrasi yang intinya harus mengutamakan kepentingan rakyat. Sebab, rakyatlah yang memilih wakilnya di pemerintah untuk dapat memperoleh haknya sebagai warga negara.
"Berarti rakyat mendapat hak dan manfaat dalam demokrasi, karena itu kita harus menghargai hak-hak asasi sebagai prinsip pokok. Kalau ada yang melanggar HAM, maka itu adalah suatu pelanggaran terhadap konstitusi," ujar JK.
Namun, JK menilai demokrasi di Indonesia mengalami permasalahan. Salah satu penyebabnya adalah biaya politik tinggi yang berdampak kepada hadirnya kasus korupsi di Indonesia.
Untuk menjadi seorang kepala daerah atau anggota legislatif, JK menilai bahwa seseorang harus mengeluarkan biaya yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan adanya hubungan timbal balik saat terpilih nanti, agar modal yang telah dikeluarkan saat proses pemilihan dapat kembali diraih.
"Karena demokrasi mahal, maka kemudian menimbulkan kebutuhan untuk pengembalian investasi. Maka di situlah terjadinya menurun demokrasi, kalau demokrasi menurun maka korupsi juga naik, itulah yang terjadi," ujar JK.
Melihat fakta-fakta inilah yang membuat perlu hadirnya sosok pemantau dan pengawas kepada pemerintah untuk menghadirkan check and balance. Peran oposisi dinilainya sangat penting guna menghadirkan demokrasi Indonesia yang lebih baik.
"Suatu kewajiban untuk melaksanakan kritik itu agar terjadi balancing dan agar terjadi kontrol di pemerintah. Tanpa adanya kontrol, pemerintah tidak dapat berjalan dengan baik," ujar Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI) itu.
Penurunan kualitas demokrasi Indonesia juga diamini oleh peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro. Hal tersebut terlihat dari semakin lemahnya penegakan hukum, pembungkaman kritik, lemahnya pemberantasan korupsi, dan perilaku menyimpang dari para elite politik dan pemerintah.
"Demokrasi dengan masyarakat yang merdeka, bersatu, adil, dan makmur kini tersandera oleh kuatnya praktik politik oligarki, monopoli, dan kongkalikong antara penguasa," ujar Siti.
Saat ini, Indonesia perlu menghasilkan demokrasi yang substantif, dengan fokus untuk menyejahterakan rakyat. Bukan demokrasi secara politik yang hanya akan menguntungkan sejumlah pihak.
"Sesuai dengan sila kelima Pancasila, di mana rakyat memperoleh kesejahteraan sosial dari demokrasi. Bukan hanya (diperoleh) segelintir orang seperti oligarki," ujar Siti.
Partai politik, kata Siti, perlu mengambil peran penting dalam membangun demokrasi yang sehat. Meski tak dapat dipungkiri, terkadang partai politiklah yang menjadi sumber masalah dari demokrasi di Indonesia.
Ia mengatakan, partai memiliki peran penting karena kewenangannya untuk mengajukan calon-calon pemimpin. Mereka adalah sosok yang diusung oleh partai dan nantinya akan dipilih oleh masyarakat.
"Menilai demokrasi suatu bangsa, kita cukup menilai kualitas partai politiknya. Parpol dengan kaderisasi yang baik, massa yang kokoh, dan manajemen yang profesional akan menghasilkan pemimpin berjiwa negarawan," ujar Siti.