Nakes Pria Mandikan Jenazah Covid Wanita Bagaimana Hukumnya?

Kasus memandikan jenazah tersebut sulit dikatakan memenuhi unsur penodaan agama.

AP/Bram Janssen
Relawan memandikan jenazah korban Covid-19 (ilustrasi)
Rep: Febrianto Adi Saputro Red: Andi Nur Aminah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menanggapi kasus yang menimpa empat laki-laki petugas forensik RSUD Djasamen Saragih Kota Pematang Siantar yang ditetapkan sebagai tersangka karena memandikan jenazah wanita korban Covid-19. Erasmus menilai sulit kasus tersebut dapat dikatakan memenuhi unsur penodaan agama. 

Baca Juga


"Merujuk pada Pasal 156a KUHP, terdapat dua unsur yang sangat penting dan sering tidak diperhatikan dengan hati-hati. Unsur ini tidak diimplementasikan dengan baik dalam penodaan agama. Yaitu pertama, unsur 'kesengajaan dengan maksud' melakukan penodaan agama di muka umum dan kedua, bentuk perbuatan 'yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama'," kata Erasmus dalam keterangan tertulisnya kepada Republika.co.id, Rabu (24/2).

Menurutnya penyidik dan jaksa harus sangat berhati-hati dalam menilai apakah perbuatan para tersangka memang disengaja dengan maksud di muka umum melakukan penodaan agama. Kelalaian karena tidak mematuhi protokol, SOP, atau urutan prosedur lainnya tidak dapat dikategorikan sebagai kesengajaan dengan maksud.

"Terlebih para tersangka menjalankan tugas sebagai tenaga kesehatan yang khusus menangani jenazah suspek Covid-19 dengan telah dilengkapi surat keputusan pengangkatan mereka," ujarnya.

Selain itu, Erasmus menambahkan, dalam delik penodaan agama, juga harus merupakan sebuah perbuatan 'yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama'. Perbuatan itu sendiri haruslah perbuatan yang sifatnya menodai suatu agama atau ajaran agama.

Baca juga : Sholat Sunnah yang Beranjak Dilupakan Umat Islam

Sedangkan perbuatan yang menyasar orang per orang yang kebetulan menyalahi ajaran suatu agama, tidak dapat langsung disimpulkan menodai agama. Sebab apabila menggunakan logika yang demikian, maka semua kejahatan tentu menyalahi ajaran agama, dalam kondisi ini maka semua delik pidana adalah penodaan agama dan tidak lagi dibutuhkan KUHP. 

"Maka, suatu perbuatan yang melanggar norma agama belum tentu melanggar norma hukum, dalam kasus ini, yaitu perbuatan pidana penodaan agama," tuturnya.

ICJR juga mengkritik jaksa penuntut umum yang telah menerima pelimpahan kasus tersebu. Jaksa yang harusnya berperan sebagai dominus litis dalam memastikan apakah suatu kasus perlu atau tidak untuk diteruskan, terlihat tidak dapat mengambil peran itu. Terlebih dalam kondisi pandemi Covid-19. 

Ia menilai kasus seperti ini akan sangat berbahaya dalam menyasar para tenaga kesehatan dan petugas di garda depan lainnya yang sedang menjalankan tugasnya melakukan penanganan Covid-19. "Jaksa perlu untuk berhati-hati dalam menangani kasus yang demikian," ungkapnya.

Selain itu, ICJR juga meminta agar aparat penegak hukum, berhati-hati dalam menangani kasus ini, khususnya untuk jaksa yang sudah menerima pelimpahan kasus dari penyidik. ICJR memandang sampai dengan fakta terkini, sulit untuk menyimpulkan kasus ini merupakan kasus yang memenuhi unsur delik penodaan agama.

Baca juga : Kemenag Kembangkan Madrasah Digital

"Kasus ini juga bisa sangat berbahaya apabila tidak ditangani dengan hati-hati. Karena akan menyasar para tenaga kesehatan yang sedang berjuang menghadapi pandemi Covid-19," ucapnya.

Sebelumnya dikabarkan sebanyak empat laki-laki petugas forensik RSUD Djasamen Saragih Kota Pematangsiantar ditetapkan sebagai tersangka karena memandikan jenazah wanita. Kempatnya disangka dengan Pasal 156a huruf a jo Pasal 55 ayat 1 KUHP tentang Penodaan Agama.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler