PBB dan Uni Eropa Kecam Kekerasan Aparat Myanmar
Militer Myanmar didesak menghormati tuntutan rakyat.
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- PBB dan Uni Eropa mengecam aksi kekerasan aparat keamanan terhadap demonstran di Myanmar. Mereka mendesak militer yang kini mengontrol jalannya pemerintahan menghormati tuntutan rakyat.
"Penggunaan kekuatan mematikan terhadap pengunjuk rasa damai dan penangkapan sewenang-wenang tidak dapat diterima," kata juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Stephane Dujarric, dalam sebuah pernyataan pada Ahad (28/1).
Dia menyebut komunitas internasional harus bereaksi atas krisis yang tengah terjadi di Myanmar. "Sekretaris Jenderal (PBB) mendesak masyarakat internasional bergabung dan mengirimkan sinyal yang jelas kepada militer (Myanmar) bahwa mereka harus menghormati keinginan rakyat Myanmar seperti yang diungkapkan melalui pemilu dan menghentikan penindasan," ujar Dujarric.
Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell turut mengutuk tindakan represif aparat keamanan Myanmar. Dia secara khusus menyoroti aksi penembakan yang menelan nyawa warga sipil. "Dalam penembakan terhadap warga yang tidak bersenjata, pasukan keamanan telah secara terang-terangan mengabaikan hukum internasional, dan harus dimintai pertanggungjawaban," katanya.
Borrell mengatakan Uni Eropa akan mengadopsi sanksi sebagai respons atas aksi kekerasan yang dilakukan aparat keamanan Myanmar. "Kekerasan tidak akan memberikan legitimasi pada pelimpahan ilegal dari pemerintah yang dipilih secara demokratis di Myanmar," ucapnya.
Aksi demonstrasi menentang kudeta militer di Myanmar terus berlangsung dan kian memanas. Menurut kantor hak asasi manusia PBB, sedikitnya 18 orang tewas dan beberapa lainnya terluka ketika aparat keamanan membubarkan aksi unjuk rasa pada Ahad lalu. Ratusan warga pun ditangkap.
Itu menjadi tindakan paling agresif yang dilakukan pasukan keamanan Myanmar sejak demonstrasi dimulai sekitar empat pekan lalu. Pada 1 Februari lalu, militer Myanmar melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil di negara tersebut. Mereka menangkap pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai National League for Democracy (NLD).
Kudeta dan penangkapan sejumlah tokoh itu merupakan respons militer Myanmar atas dugaan kecurangan pemilu pada November tahun lalu. Dalam pemilu itu, NLD pimpinan Suu Kyi menang telak dengan mengamankan 396 dari 476 kursi parlemen yang tersedia. Itu merupakan kemenangan kedua NLD sejak berakhirnya pemerintahan militer di sana pada 2011.