Antara Janji Pinangki dan Rindu Djoko Pulang ke Tanah Air
Djoko Tjandra hari ini membacakan nota pembelaan atas tuntutan 4 tahun penjara.
REPUBLIKA.CO.ID, Djoko Tjandra menyebut jaksa Pinangki Sirna Malasari berjanji tidak ada proses eksekusi terhadap dirinya jika saat ia kembali ke Indonesia. Djoko juga mengaku, rasa rindu terhadap Indonesia menjadi alasan lain dirinya ingin pulang ke Tanah Air.
"Pertama, Pinangki Sirna Malasari menawarkan bantuan dan menjanjikan saya untuk menyelesaikan persoalan hukum saya lewat jalur Fatwa Mahkamah Agung sehingga saya bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani hukuman pidana," kata Djoko Tjandra saat membacakan nota pleidoi (pembelaan) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (15/3).
Dalam perkara ini Djoko Tjandra dituntut 4 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan. Oleh jaksa penuntut umum (JPU), Djoko dinilai terbukti menyuap aparat penegak hukum dan melakukan pemufakatan jahat.
"Bukan saya yang mencari Pinangki Sirna Malasari untuk meminta bantuannya menyelesaikan persoalan hukum saya. Pinangki, lewat saudara Rahmat, yang memiliki inisiatif untuk datang bertemu saya di Kuala Lumpur, Malaysia guna menindaklanjuti Putusan MK No 33/PUU-XXIV/2016 tanggal 12 Mei 2016 dengan tujuan agar Putusan PK No 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi," tambah Djoko Tjandra.
Selanjutnya, menurut Djoko, Pinangki juga yang merekomendasikan dan membawa sahabatnya Anita Dewi A. Kolopaking untuk menjadi pengacara Djoko. Selain Anita, Pinangki juga membawa Andi Irfan Jaya yang disebut sebagai konsultan swasta.
"Mereka bertigalah yang akan mengurus Fatwa MA sebagaimana dijanjikan Pinangki. Secara tegas saya katakan kepada mereka bertiga bahwa saya tidak ingin membuat kesepakatan dengan Pinangki karena dia adalah seorang jaksa," ungkap Djoko.
Sehingga, kemudian disepakati Djoko Tjandra hanya berurusan dengan Anita Kolopaking dan Andi Irfan Jaya. "Uang 1 juta dolar AS adalah sebagai consultant fee dan lawyer fee yang disepakati untuk pengurusan Fatwa MA sampai selesai," tambah Djoko Tjandra.Ia pun menyebut diminta untuk membayar uang muka 500 ribu dolar AS dan dibayarkan kepada Andi Irfan Jaya.
"Karena besarnya harapan saya untuk bisa kembali ke Tanah Air dan percaya kepada janji Pinangki Sirna Malasari, dengan berat hati saya melakukan pembayaran uang muka 500 ribu dolar AS meminta tolong kepada Herrijadi Anggakusuma untuk membayar ke Andi Irfan Jaya," ungkap Djoko Tjandra.
Uang 500 ribu dolar AS tersebut, menurut Djoko Tjandra, bukan uang kepada Pinangki. Tetapi, sebagai pembayaran uang muka consultant fee dan lawyer fee sebesar 1 juta dolar untuk mengurus fatwa MA.
"Saya sudah menolak dan membatalkan action plan yang diajukan oleh Andi Irfan Jaya, karena action plan tersebut tidak lebih dari modus penipuan dan perampokan harta saya dan nampak sangat tidak masuk akal," ungkap Djoko.
Ia pun menilai dirinya menjadi korban penipuan dengan diiming-imingi fatwa MA. Oleh karena itu, semua rencana dan pembicaraan dengan jalur fatwa Mahkamah Agung dihentikan oleh Djoko.
"Saya tidak mau lagi berhubungan lagi dengan Pinangki dan Andi Irfan," tambah Djoko.
Djoko Tjandra pun merasa aneh dan heran ketika JPU mendakwa dan menuntut dirinya melakukan perbuatan permufakatan jahat untuk melakukan korupsi. Sedangkan, ia yang menolak dan membatalkan action plan tersebut.
Dalam perkara ini, Djoko Tjandra didakwa melakukan dua dakwaan. Pertama, Djoko Tjandra didakwa menyuap jaksa Pinangki Sirna Malasari sejumlah 500 ribu dolar Singapura, mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte sejumlah 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS serta mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo senilai 150 ribu dolar AS.
Sedangkan dalam dakwaan kedua, Djoko Tjandra didawa melakukan permufakatan jahat dengan Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan Jaya untuk memberi atau menjanjikan uang sebesar 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan di Mahkamah Agung.
Terkait perkara ini, jaksa Pinangki sudah divonis 10 tahun penjara ditambah denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan, Irjen Polisi Napoleon Bonaparte divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan, Brigjen Prasetijo Utomo divonis 3,5 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan, Andi Irfan Jaya divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 4 bulan kurunga, Tommy Sumardi divonis 2 tahun dan pidana denda sebesar Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Dalam pembacaan pleidoinya hari ini, Djoko Tjandra juga mengungkapkan rasa rindu untuk dapat pulang ke Tanah Air menjadi alasan ia akhirnya menjalin hubungan kerja sama dengan Pinangki cs. Menurutnya, ia telah 11 tahun berkeliling sejumlah negara seusai divonis 2 tahun penjara dalam kasus cessie Bank Bali.
"Saya rindu pulang ke Tanah Air Indonesia. Itulah kerinduan terdalam selama 11 tahun saya berada di luar negeri," kata Djoko.
Menurut Djoko Tjandra, ia tidak ditolak oleh pemerintah maupun masyarakat di luar negeri. "Sebaliknya, saya diterima dan diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berkarya. Tetapi, seperti kata pepatah, sekalipun hujan emas di negeri orang, dan hujan batu di negeri sendiri, tetap saja tidak bisa menghapus cinta dan kerinduan kepada negeri sendiri," tambah Djoko Tjandra.
Di tengah kerinduan dan pupusnya harapan itu, pada awal November 2019, rekan Djoko Tjandra bernama Rahmat menelpon dirinya dan menyampaikan ingin memperkenalkan Pinangki Sirna Malasari sebagai orang yang katanya dapat membantu menyelesaikan persoalan hukum.
"Saya persilakan kepada Saudara Rahmat. Mungkin ini adalah jalan saya bisa kembali ke tanah air," ungkap Djoko Tjandra.
Menurut Djoko, sebagai seorang WNI yang sudah diputus tidak bersalah dan menjadi orang merdeka, 8,5 tahun kemudian, ia dijatuhi hukuman penjara 2 tahun karena putusan PK Mahkamah Agung RI No 12/PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 yang diawali oleh pengajuan permohonan PK oleh Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
"Saya tidak tahu apakah Kejaksaan RI yang direpresentasikan oleh Penuntut Umum sedikit memiliki kesadaran bahwa dengan pengajuan PK yang melanggar hukum dulu itu, Kejaksaan RI telah melakukan miscarriage of justice (peradilan sesat) yang menyebabkan luka ketidakadilan tidak hanya kepada saya pribadi, keluarga saya, tetapi juga kepada institusi Kejaksaan RI itu sendiri," tambah Djoko Tjandra.
Ia sendiri sudah melakukan upaya hukum PK atas putusan PK MA No 12 tahun 2009 tersebut tetapi tetap saja ditolak. "Setelah upaya hukum PK yang pernah saya ajukan itu ditolak, saya tidak punya harapan lagi untuk pulang ke Tanah Air Indonesia yang saya cintai ini. Tidak ada lagi harapan untuk kumpul bersama-sama dengan semua keluarga di Indonesia," ungkap Djoko Tjandra.
In Picture: Suap Pejabat, Djoko Tjandra Dituntut 4 Tahun Penjara
Djoko Tjandra juga mengaku tidak ada lagi harapan untuk bisa nyekar ke makam orang tua maupun menghabiskan masa tua dan meninggal di Indonesia. "Tidak lagi bisa saya mengatakan kepada cucu-cucu saya bahwa mereka harus mencintai Tanah Air Indonesia, sementara saya tinggal di luar negeri," kata Djoko Tjandra.
Saat membacakan nota tuntutan terhadap Djoko Tjandra, JPU selain menuntut hukuman 4 tahun penjara juga menolak permohonan Djoko Tjandra untuk menjadi juctice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum.
"Menyatakan permohonan terdakwa untuk menjadi 'justice collaborator' tidak dapat diterima," kata JPU Junaedi, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (4/3).
"Berdasarkan fakta-fakta persidangan terungkap bahwa terdakwa Djoko Tjandra merupakan pelaku utama yang melakukan tindak pidana korupsi sebagai pemberi suap, yakni sebagai pemberi suap sebesar 500 ribu dolar AS kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari, kepada Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte sejumlah 200 ribu dolar Singapura dan 370 dolar AS serta Brigjen Prasetijo Utomo senilai 100 ribu dolar AS," ujar jaksa Retno Liestyanti, menambahkan.
Selain itu, Djoko Tjandra juga dinilai terbukti melakukan pemufakatan jahat bersama dengan Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan Jaya untuk memberi atau menjanjikan uang sebesar 10 juta dolar AS kepada pejabat di Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Mahkamah Aguung (MA).
"Atas alasan tersebut di atas, kami berpendapat terdakwa merupakan pelaku utama, sehingga permohonan terdakwa sebagai justice collaborator tersebut selayaknya tidak diterima," kata jaksa Retno pula.