AS Selidiki Laporan Pelanggaran HAM di Tigray Ethiopia

AS prihatin dengan laporan tentang pembantaian di wilayah Tigray

AP/Nariman El-Mofty
Pemandangan umum kamp pengungsi Umm Rakouba yang saat ini menampung orang-orang Tigray yang melarikan diri dari konflik di wilayah Tigray Ethiopia, di Qadarif, Sudan timur, Kamis, 26 November 2020. Perdana menteri Ethiopia mengatakan Kamis bahwa tentara telah diperintahkan untuk melanjutkan. ibu kota daerah Tigray yang diperangi setelah ultimatum 72 jamnya berakhir agar para pemimpin Tigray menyerah, dan dia memperingatkan setengah juta penduduk kota untuk tetap di dalam rumah dan melucuti senjata.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) sedang menyelidiki laporan pelanggaran hak asasi manusia dan kekejaman di wilayah Tigray, Ethiopia. Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Ned Price mengatakan, AS sangat prihatin dengan laporan yang diangkat oleh CNN dan BBC tentang pembantaian di wilayah tersebut.

Baca Juga


“Kami, tentu saja, mempelajari laporan-laporan ini. Kami telah mencatatnya dengan cermat dan kami akan terus memperhatikannya, "kata Price.

"Kami mengutuk keras pembunuhan, pemindahan paksa, pelecehan seksual, pelanggaran hak asasi manusia lainnya yang telah dilaporkan oleh banyak organisasi," tambah Price.

Kementerian Luar Negeri Ethiopia mengatakan penyelidikan bersama dengan para ahli eksternal atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia akan segera dimulai. Price juga menyambut baik mundurnya pasukan Eritrea dari Tigray. Dia menyebut mundurnya pasukan Eritrea sebagai langkah maju yang penting dalam penurunan ketegangan di wilayah tersebut. Negara-negara G7 termasuk Amerika Serikat pada Jumat (2/4) menyerukan penarikan tentara Eritrea dengan cepat, tanpa syarat dan dapat diverifikasi, diikuti oleh proses politik yang dapat diterima oleh semua warga Ethiopia.

"Penarikan segera dan lengkap pasukan Eritrea dari Tigray akan menjadi langkah maju yang penting dalam mengurangi konflik dan memulihkan perdamaian dan stabilitas regional," kata Price.

 

Kementerian Luar Negeri Ethiopia mengatakan, pasukan Eritrea mulai menarik diri dari wilayah Tigray. Sebelumnya ada peningkatan laporan atas pelanggaran hak asasi manusia termasuk pemerkosaan, penjarahan, dan pembunuhan warga sipil yang dilakukan oleh pasukan Eritrea. 

"Pasukan Eritrea yang telah melintasi perbatasan dan Pasukan Pertahanan Nasional Ethiopia telah mengambil alih menjaga perbatasan nasional," ujar pernyataan Kementerian Luar Negeri. 

Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed mengakui kehadiran pasukan Eritrea di Tigray. Namun Eritrea masih belum mengakui bahwa pasukannya berada di Ethiopia dan menolak untuk bertanggung jawab atas pelanggaran yang terjadi di wilayah itu. 

Abiy mengatakan pasukannya telah melakukan operasi besar-besaran selama tiga hari terakhir, saat melawan musuh di wilayah barat dan utara. Dia tidak menyebut secara spesifik Tigray tapi wilayahnya terletak di utara.

Ethiopia mengirim pasukannya ke Tigray pada November untuk berperang melawan TPLF, yang saat itu merupakan partai penguasa regional, yang telah menyerang pangkalan militer di wilayah tersebut. Pada akhir November, Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) menarik diri dari ibu kota regional Mekelle dan pemerintah Ethiopia mengumumkan kemenangan.

Listrik dan sambungan telepon ke Tigray terputus selama empat hari terakhir, sehingga sulit untuk memverifikasi penarikan dari Eritrea. Wartawan Reuters di Tigray bulan lalu melihat tentara Eritrea di kota-kota besar dan jalan-jalan utama.

Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) mengatakan, terjadi "bentrokan dan penyergapan yang dilaporkan di sebagian besar wilayah". Bulan lalu, sebuah organisasi bantuan juga menyaksikan penyergapan terhadap konvoi militer dan eksekusi warga sipil di luar hukum di jalan utama. Kementerian Luar Negeri mengatakan akses penuh ke kawasan itu sekarang telah diberikan kepada organisasi kemanusiaan.

"Di beberapa bagian Tigray Selatan dan Tenggara, misalnya, akses telah dibatasi selama lebih dari sebulan dan jalan dari Alamata ke Mekelle tetap ditutup, menghalangi operasi kemanusiaan di daerah tersebut," ujar pernyataan OCHA. 

Kementerian Luar Negeri mengatakan penyelidikan bersama dengan para ahli eksternal atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia akan segera dimulai. Kementerian mendesak donor untuk mengirim lebih banyak makanan dan bantuan medis. 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler