Dirut Pertamina Minta Perbaiki Regulasi Panas Bumi
Selama dua tahun terakhir pengembangan panas bumi di Indonesia mandeg.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu cara pemerintah untuk bisa mengebut target porsi energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi adalah dengan memaksimalkan pemanfaatan panas bumi. Hanya saja, saat ini pemanfaatan panas bumi masih belum maksimal karena belum adanya regulasi yang mendukung pengembangan panas bumi.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan selama dua tahun terakhir memang pengembangan panas bumi di Indonesia mandeg. Ia menjelaskan hal ini karena persoalan tarif listrik di sektor panas bumi yang masih kerap dikaitkan dengan BPP daerah.
"Ini menjadi salah satu stoper. Kami menilai perlu adanya regulasi yang membuat pengembangan panas bumi sesuai dengan angka keekonomian proyek. Sehingga ini bisa menarik bagi investor," ujar Nicke secara virtual, Senin (26/4).
Nicke mencontohkan salah satu instrumen pendukung untuk mengembangkan panas bumi adalah skema cost recovery yang merupakan skema yang sama di hulu migas. Selain itu, dengan adanya proyek goverment drilling ini juga bisa meningkatkan minat investor untuk bergerak ke pengembangan panas bumi.
"Bisa juga melalui skema cost recovery seperti di industri migas. Juga perlu ada terobosan seperti government drilling. Secara data eksplorasi sudah matang. Investor pasti tertarik," ujar Nicke.
Nicke menjelaskan Pertamina berkomitmen untuk membantu pemerintah dalam pemanfaatan panas bumi. Ia mencatat, Pertamina sendiri saat ini sudah berkontribusi dalam pengembangan panas bumi sebesar 7 persen dari potensi yang ada.
"Panas bumi ini merupakan potensi yang besar dan menarik untuk dikembangkan," ujar Nicke.