Ancaman Mutasi Covid-19 dari Daging Kerbau Impor India
Sangat mungkin daging kerbau dari India berisiko membawa varian baru Covid-19.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Adysha Citra Ramadhani, Dedy Darmawan Nasution
Daging kerbau impor dari India sudah sejak beberapa tahun terakhir masuk ke Indonesia. Tahun ini, saat kasus Covid-19 di India melonjak tajam, pemerintah memastikan tetap mendatangkan daging kerbau beku dari India.
Haruskah timbul kekhawatiran bahwa daging kerbau beku bisa membawa varian baru Covid-19? Kekhawatiran tersebut bukan tidak beralasan. Sepanjang sejarah pandemi virus corona, sudah beberapa kali ditemukan daging beku juga ikan beku yang ketika dicek mengandung virus corona.
Dosen Pascasarjana Fakultas Peternakan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Nanung Danar Dono, menyatakan, sangat mungkin daging kerbau dari India berisiko membawa varian baru Covid-19. "Kalau kaitannya dengan daging beku, di negara asalnya di India, virus apalagi mutan virusnya itu bisa menempel di permukaan daging, atau di kemasan, atau di dusnya menempel di situ. Kemudian ini bisa ikut terbawa ke Indonesia ketika diimpor," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (28/4).
Badan Urusan Logistik (Bulog) menjamin tidak ada virus corona pada daging tersebut, Nanung lalu mempertanyakan bagaimana cara menjaminnya. Terlebih, dia melanjutkan, kini ada mutasi virus, padahal persoalan virus aslinya saja masih misteri.
"Jadi, mohon maaf bagaimana caranya, apakah semua daging dicek dengan PCR? Anggaran dari mana? Yang mengecek siapa? Jangan mengada-ada karena demi keselamatan. Tolong jangan menyepelekan," katanya.
Kemudian, dia melanjutkan, ketika orang yang mengolah daging memegang dusnya atau kemasan daging beku, kemudian dia memegang tubuhnya atau bagian wajahnya kemudian berlanjut mengucek-kucek mata, hidung, mulut memakai tusuk gigi, maka virus corona bisa masuk ke tubuhnya. Titik kritis yang harus diwaspadai adalah proses sebelum daging matang yang diolah oleh tukang masak atau kru.
"Sebab, setelah terinfeksi, dia tidak menyadarinya karena tanpa gejala. Akibatnya dia bisa menularkan ke teman kerjanya, tetangga, masyarakat, keluarganya, bahkan anak istrinya," ujarnya.
Nanung berpesan orang yang memotong dan mengolah daging ini supaya menerapkan protokol kesehatan. Mulai dari memakai masker, memakai sarung tangan sekali pakai, kemudian dibuang setelah selesai. Kemudian, dia melanjutkan, calon pembeli bisa memakai penyanitasi tangan (hand sanitizer) atau tisu basah sebelum memegang alat ketika akan mengambil daging dan usai memilihnya.
"Oleh karena itu, hand sanitizer dan tisu basah jadi barang wajib," katanya.
Mengenai virus yang menempel pada daging, Nanung mengingatkan jika dimasak bersuhu 80 derajat Celsius, daging aman. Sebab, umumnya virus mati saat berada pada suhu tinggi. Daging yang telah dipanaskan dan matang aman dari virus ini karena tidak menularkan dari makanannya.
Baca juga : Sri Mulyani: Kerugian Ekonomi Akibat Covid Rp 1.356 Triliun
Ia mencontohkan, fenomena ini seperti di Brasil dan Selandia Baru. Kendati demikian, Nanung menyarankan pilihan terbaik untuk sementara jangan memakan daging impor dari India. "Itu opsi terbaik, menurut saya," katanya.
Tahun lalu tim peneliti asal Singapura dan Irlandia mencari tahu kemungkinan adanya potensi penularan Covid-19 melalui makanan. Studi tersebut mengungkapkan bahwa virus penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, dapat bertahan di daging-dagingan beku dalam waktu yang cukup lama.
Melalui studi yang dimuat dalam bioRxiv ini, tim peneliti mengontaminasi beberapa jenis daging dengan virus corona tipe baru, SARS-CoV-2. Jenis daging yang digunakan adalah daging ikan salmon, ayam, dan babi.
Seluruh daging yang telah terkontaminasi SARS-CoV-2 disimpan pada tiga suhu yang berbeda, yaitu 4 derajat Celsius, minus 20 derajat Celsius, dan minus 80 derajat Celsius. Tim peneliti lalu memeriksa daging-daging tersebut pada waktu-waktu tertentu, yaitu 1, 3, 5, 7, 14, dan 21 hari setelah daging dikontaminasikan dengan SARS-CoV-2.
Hasil studi menunjukkan bahwa daging-daging tersebut masih terkontaminasi oleh SARS-CoV-2 pada hari ke-21 atau setelah tiga pekan. Kontaminasi ini ditemukan pada daging yang disimpan pada ketiga suhu, yaitu 4 derajat Celsius, minus 20 derajat Celsius, dan minus 80 derajat Celsius.
"Tak ada penurunan virus setelah 21 hari pada suhu 4 derajat Celsius dan minus 20 derajat Celsius," ujar tim peneliti, seperti dilansir Fox News.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan bahwa masyarakat tak perlu khawatir mengenai kemungkinan tertular Covid-19 dari makanan atau kemasan makanan. Tim peneliti juga menyatakan bahwa kemungkinan adanya transmisi melalui makanan itu kecil.
Meski kemungkinannya kecil, studi telah membuktikan bahwa virus dapat bertahan pada situasi yang mirip dengan kondisi pendistribusian dan penyimpanan daging. Pergerakan makanan yang terkontaminasi SARS-CoV-2 dapat berpotensi memunculkan kasus baru di daerah-daerah yang semula bebas Covid-19. Bila hal ini terjadi, bukan tak mungkin wabah kembali muncul di daerah-daerah yang sebelumnya bebas Covid-19 tersebut.
"Penting untuk memahami risiko suatu benda terkontaminasi dan tetap terkontaminasi di saat barang tersebut diekspor, dan virusnya bertahan selama di perjalanan," kata tim peneliti menjelaskan.
Pemerintah memastikan kebijakan impor daging kerbau beku dari India tetap akan direalisasikan meskipun saat ini tengah terjadi angka penularan Covid-19 cukup tinggi di India. Pasalnya, alternatif negara ekspotir daging untuk saat ini sulit ditemukan karena mengalami keterbatasan pasokan secara global.
Deputi Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kementerian Koordinator Perekonomian, Musdalifah, mengatakan, pemerintah telah memberikan alokasi kepada BUMN untuk melakukan impor dari India pada tahun ini. Alokasi tersebut hingga saat ini harus terus dilaksanakan karena belum ada perubahan kebijakan pemerintah.
Baca juga : Polda Metro Tangkap Lima WN India Pelanggar UU Karantina
BUMN yang ditugaskan mengimpor daging kerbau, yakni Perum Bulog sebanyak 80 ribu ton untuk tahun 2021. Musdalifah mengatakan, fokus pemerintah saat ini mengamankan kebutuhan untuk perayaan Idul Fitri pada Mei mendatang. Jika ingin mencari alternatif, tentunya harus mendatangkan pasokan dari negara terdekat, seperti Australia. Namun, pada saat yang bersamaan, Australia juga sedang mengalami keterbatasan pasokan selain dari harga yang cukup tinggi.
"Kendala ini sebabkan kita tidak melakukan perubahan, kita tetap optimalisasikan apa yang sudah diputuskan. Kerbau masuk terus meski ada corona karena kontra sudah berjalan," kata Musdalifah dalam webinar Indonesia Australia Red Meat & Cattle Partnership, Rabu (28/4).
Ia mengatakan, sejauh ini ada sekitar 13 ribu ton daging kerbau beku yang telah didatangkan oleh Bulog. Musdalifah mengatakan, penambahan pasokan direncanakan bisa dilakukan hingga pekan pertama Mei atau paling lambat pekan ketiga. Itu berpatokan pada momen Idul Fitri yang kemungkinan jatuh pada 13 Mei 2021.
Sementara itu, ia mengatakan, pemerintah terus memobilisasi sentra-sentra produksi lokal, baik di perusahaan penggemukan sapi atau feedloter maupun peternakan sapi. "Mungkin saat ini terjadi hal-hal demikian (kasus Covid-19), tapi mudah-mudahan tidak mengganggu kontrak-kontrak yang sudah berjalan sehingga sudah tersedia cukup," ujar dia.
Sebelumnya, Perum Bulog menyatakan menunda sementara pemasukan impor daging kerbau India karena situasi penyebaran Covid-19 yang melonjak drastis dalam beberapa waktu terakhir. Importasi akan dilanjutkan jika situasi Covid-19 mulai mereda sehingga keamanan daging bisa terjaga.
Direktur Utama Bulog, Budi Waseso, mengatakan, sejauh ini pasokan daging kerbau beku yang tiba di Indonesia sebanyak 13 ribu ton dari total penugasan 2021 sebesar 80 ribu ton. Pasokan yang sudah datang itu dipastikan aman untuk kebutuhan stabilitasi harga menjelang Hari Raya Idul Fitri pada Mei mendatang.
Budi memastikan, pasokan daging yang sudah diterima Bulog aman dikonsumsi karena sudah melalui pengecekan laboratorium. "Untuk kelanjutan importasi kita melihat situasi, kita tidak akan datangkan selama perkembangan di sana tidak kondusif. Kita jaga betul," kata Budi.
Lebih lanjut, ia menyampaikan, sebetulnya Bulog sudah meneken kontrak untuk kedatangan kedua sebanyak 26 ribu ton dari India. Semula dijadwalkan masuk ke Indonesia pada sekitar Mei-Juni mendatang. Karena situasi yang mengkhawatirkan, pasokan tersebut alhasil ditahan.
"Ada 26 ribu ton kita tahan karena jangan sampai nanti timbul pandangan membawa virus Covid-19. Kita harus saling menjaga, tidak mengejar keuntungan saja," ujarnya menambahkan.
Musdalifah menyampaikan, pada saat momen bulan Ramadhan dan Idul Fitri, konsumsi daging sapi secara nasional rata-rata naik naik 0,5-3 persen dibanding bulan-bulan normal. Namun, akibat gangguan tersebut, alhasil menimbulkan potensi kenaikan harga sapi di tingkat konsumen.
Musdalifah memaparkan, komposisi konsumsi daging sapi di Indonesia, yakni sebanyak 45 persen dan dipasok dari daging sapi impor. Selanjutnya, 38 persen dari daging sapi, dan 17 persen daging jeroan.
Karena itu, ia mengakui pemerintah saat ini tengah melakukan lobi ke negara-negara pemasok daging sapi lain, seperti India, Brasil, Meksiko, Filipina, Spanyol, hingga Argentina. Namun, untuk sebagian negara mengalami kendala lain, seperti jarak yang terlalu jauh.
Pemerintah, dia menambahkan, juga tengah mendorong perusahaan pelat merah maupun swasta untuk ikut membantuk memasok kebutuhan daging sapi impor. Itu dilakukan sembari pemerintah memobilisasi sentra-sentra peternakan lokal, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Selatan, dan Lampung.
Baca juga : Warga India Berebut Daftar Vaksin Covid-19
Selain itu, sentra-sentra penggemukan sapi atau feedloter juga diminta untuk membantu penyediaan daging, seperti di Sumatra Utara, Lampung, Banten, dan Jawa Barat. "Sentra sapi dan feedloter ini kami harapkan bisa membantu kekurangan neraca," kata dia.