Militer Myanmar Blokir Akses Internet

Militer Myanmar ingin memegang kendali atas informasi

AP
Pengunjuk rasa anti-kudeta bertujuan untuk membela diri dengan senapan angin rakitan selama demonstrasi menentang kudeta militer di Yangon, Myanmar, Sabtu, 3 April 2021. Ancaman kekerasan mematikan dan penangkapan pengunjuk rasa telah gagal menekan demonstrasi harian di seluruh Myanmar yang menuntut militer. mundur dan memulihkan pemerintahan yang dipilih secara demokratis
Rep: Puti Almas Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW — Militer Myanmar telah melarang media independen untuk mendapatkan kendali atas informasi dan menangkap jurnalis. Militer juga melakukan tindakan keras terhadap pengunjuk rasa dan gerakan oposisi yang mendukung demokrasi di negara itu.

Sejak kudeta militer terjadi pada 1 Februari lalu, warga sipil Myanmar berada di bawah tekanan, dengan akses terbatas internet dan media sosial yang harus mereka dapatkan. Jejaring sosial seperti Facebook, Facebook Messenger, hingga aplikasi chat WhatsApp diblokir.

Memblokir Facebook menjadi salah satu langkah penting karena setengah dari warga Myanmar menggunakan raksasa media sosial itu sebagai sumber berita utama mereka. Militer memberlakukan blokade internet nasional, secara khusus mulai 15 Febuari, yang membuat masyarakat tidak dapat mengaksesnya mulai pukul 01.00 hingga 09.00.

Dilansir Ani News, internet seluler ditutup pada 15 Maret dengan hanya koneksi broadband yang menyediakan akses ke internet. Langkah tersebut berhasil karena sebagian besar penduduk sekarang menerima berita mereka hampir secara eksklusif dari sumber-sumber yang diizinkan oleh militer.

Selain memutus komunikasi daring, stasiun televisi negara MRTV juga turut serta. Penyiar di saluran itu saat ini sering menunjukkan foto-foto dari para aktivis dan demonstran yang menentang militer, menyebut mereka sebagai musuh Myanmar.

Media independen atau swasta seperti Mizzima, Democratic Voice of Burma, Khit Thit Media, Myanmar Now, 7Day News, dan lainnya dilarang beroperasi. Sebagian besar telah mundur ke bagian negara yang dikuasai oleh etnis minoritas dan pasukan mereka, seperti negara bagian Karen yang terletak di dekat perbatasan Thailand. Dari sana, media-media ini terus mempublikasikan pandangannya terhadap pemerintahan militer.

Menurut Human Rights Watch, sekitar 48 jurnalis saat ini ditahan sementara 23 lainnya telah dibebaskan. Sebagian besar telah dituduh melanggar pasal baru dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yang mengkriminalisasi penyebaran pernyataan, rumor, atau laporan yang dapat menimbulkan ketakutan di antara penduduk.

Baca Juga


Baca juga : Blinken Sebut Kebijakan Luar Negeri China Kian Agresif

Pasal baru juga mengkriminalisasi tindakan yang dinilai menyerang negara dan ketertiban umum ataupun mengarah pada serangan antara kelas dan komunitas yang berbeda. Menurut laporan ada wartawan dari Myeik, kota di selatan Myanmar yang menyiarkan langsung adanya penembakan dekat apartemennya dan kini harus ditahan pada 1 Maret hingga saat ini.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler