DPD Minta Sekolah Bijak Beri Sanksi Anak yang Hina Palestina
Sudah cukup sanksi sosial dan psikologis yang diberikan kepada pelaku
REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU -- MS, siswi SMA di Bengkulu dikeluarkan dari sekolah setelah videonya yang menghina Palestina di akun TikToknya viral di media sosial. Di video yang beredar, MS terlihat melontarkan kata-kata kasar pada Palestina.
Keputusan mengeluarkan MS dari sekolah tersebut berdasarkan hasil rapat Dinas Cabdin Pendidikan Wilayah VIII Kabupaten Benteng dan pihak sekolah. Menurut Kepala Cabdin Pendidikan Wilayah VIII Kabupaten Bengkulu Tengah, Adang Parlindungan, tindakan yang dilakukan MS sudah melanggar tata tertib yang ada.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua DPD RI, Sultan B Najamudin, memberikan reaksi melalui keterangan resminya Rabu (19/5). "Kebiadaban Israel terhadap rakyat Palestina pasti memancing reaksi simpati secara luas di publik global, baik dari negara mayoritas muslim termasuk di Indonesia, maupun negara non muslim lainnya. Sebab persoalan konflik Palestina dan Israel bukan hanya tentang persolan ideologi dan narasi keagamaan, tetapi juga tentang hak-hak universal kemanusiaan," ujar Sultan.
Berkaitan dengan video tiktok pelajar siswi SMA di Bengkulu Tengah yang diduga mengandung unsur ujaran kebencian tersebut tentu melukai kita semua, lanjut Sultan. Dan hal itu memancing reaksi emosional dari publik, bahkan bisa berpotensi menimbulkan polemik yang lebih luas diruang sosial.
"Maka tindakan cepat (mediasi) penyelesaiannya dari Kepolisian setempat yang mengundang tokoh agama dan masyarakat bersama si anak sendiri bersama orang tuanya patut diapresiasi," tambahnya.
Adapun hasil mediasi tersebut menghasilkan beberapa keputusan yaitu pelaku bersedia meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Dan juga orang tuanya agar dapat bertanggung jawab dalam mendidik, membina serta melakukan pengawasan.
"Saya mendengar sanksinya tidak sampai disana, anak tersebut ternyata diberikan sanksi dikeluarkan dari sekolah dan dikembalikan kepada orang tuanya dengan alasan melanggar klausul ketertiban sekolah. Maka atas keputusan tersebut saya pribadi sangat menyayangkan. Seharusnya tidak mesti sampai harus diberhentikan dari sekolah," tegas senator muda asal Bengkulu tersebut.
Apalagi sebelumnya sang anak telah meminta maaf dan menyesali tindak perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang sama kedepannya. "Kita semua menyesalkan dan kecewa atas apa yang dilakukan siswi tersebut, tapi aparat Kepolisian dan Pemerintah Kabupaten Benteng telah memanggil banyak pihak dalam penyelesaian masalah ini. Sudah cukuplah sanksi sosial dan psikologis yang diberikan padanya," tandas Sultan.
Jadi mantan wakil Gubernur Bengkulu tersebut meminta pihak terkait untuk mempertimbangkan lagi atas keputusan tersebut agar siswi pelaku video itu dapat kembali bersekolah. "Fungsi pendidikan adalah merubah cara pandang kognitif serta merubah perilaku afektif serta psikomotorik seluruh siswa/i-nya. Jadi dengan kesalahan Yang telah dilakukan dapat menjadi salah satu proses pembelajaran bagi kehidupannya. Jangan sampai sanksi yang diberikan memupuskan harapannya dalam memperjuangkan cita-citanya," sesal Sultan.
Selain itu kejadian ini harus menjadi pelajaran kita bersama yaitu, bagaimana tata sistem nilai di sekolah ditransformasikan dalam ruang pendidikan kita semua. Sebab, status pelajar merupakan "subjek" yang sedang mengikuti proses, jadi baik buruknya merupakan output dari sistem pendidikan yang ada.
"Ketika ia dikeluarkan dari sekolah, maka hal itu akan menjadi beban psikis seumur hidupnya. Selain itu akan terbangun stigma negatif didalam ruang sosial yang bisa membuat sang anak dikucilkan dalam lingkungan masyarakat. Dan itu tidak boleh terjadi," ungkapnya.
"Kita juga mesti menjadikan hal ini sebagai pelajaran bersama agar bijak dalam memanfaatkan media sosial. Agar tidak terjadi perbuatan-perbuatan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Baik itu dalam bentuk kebencian maupun sentimen-sentimen lainnya berbau SARA," timpal Sultan.
Hal ini juga selaras apa yang disampaikan sebelumnya oleh seorang akademi serta tokoh pendidikan Provinsi Bengkulu, Elfahmi Lubis, Rabu (19/5), menurutnya dasar pemikiran tidak menyetujui si anak dikeluarkan dari sekolah adalah lebih kepada pertimbangan psikologis dan sosial anak. Jelas dengan sanksi "bias" anak ini, akan menimbulkan tekanan psikologis dan sosial luar biasa bagi si anak.
"Dalam konteks Undang-Undang Nomor: 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor: 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor : 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, pengaturan perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum untuk diarahkan pada pemenuhan hak anak serta mengutamakan keadilan restoratif," papar pria yang juga dosen di Universitas Muhammadiyah Bengkulu tersebut.
Terakhir Elfahmi menjelaskan bahwa selain itu di dalam konstitusi diatur secara tegas bahwa hak untuk memperoleh pendidikan adalah hak setiap warga negara dan negara wajib mengusahakannya. Jadi hak untuk sekolah itu adalah hak asasi setiap orang, yang tidak boleh dirampas dan dikurangi sedikitpun dan dengan alasan apapun, termasuk oleh negara.