Pengakuan Mengejutkan Aktivis Kristen Amerika Soal Hamas
Aktivis Kristen Amerika Serikat di Palestina punya kesan tersendiri soal Hamas
REPUBLIKA.CO.ID, Arthur G Gish atau akrab disapa Art, memang penganut Kristiani. Ia juga warga negara Amerika Serikat. Tapi, sejak 1995, petani organik ini menghabiskan waktu beberapa bulan setiap tahunnya di Palestina. Bersama timnya, Christian Peacemaker Teams (CPT), Art menjadi aktivis perdamaian.
Baru-baru ini, pengalamannya di Palestina itu dituangkan dalam buku berjudul Hebron Journal. Republika berkesempatan berbincang dengannya, Selasa (22/7), saat berkunjung ke Indonesia selama 10 hari, atas prakarsa Mizan. Berikut bagian terakhir wawancara dengan Art.
Apa pandangan Anda mengenai konflik internal Fatah dan Hamas?
Itu hal yang sangat sulit dan menjadi hambatan. Namun, hal lain yang saya pahami, masalah itu diciptakan oleh orang-orang di luar Palestina. Israel telah melakukan banyak hal terkait Hamas. Israel berharap Hamas yang punya senjata saling berperang dengan Fatah.
Israel yang menciptakan konflik Hamas dan Fatah. Dua tahun lalu, Hamas menang pemilu dan tak ada yang meragukan bahwa pemilu jujur dan adil. Namun, tak lama, Israel dan AS menghancurkan pemerintahan yang dibentuk Hamas. Seluruh bantuan keuang an dihentikan karena pemerintahan dijalankan Hamas. Dan, akhirnya, kita melihat Fatah dan Hamas saling bertentangan.
Bagaimana pandangan Anda tentang Hamas? Sebagian kalangan menyebut Hamas sebagai kelompok teroris?
Saya tak akan memanggil Hamas sebagai kelompok teroris. Saya seorang pasifis yang pantang melakukan keke rasan. Hamas memang memiliki sayap militer yang melakukan aksi. Namun, setahu saya, pengeboman dan bentuk kekerasan apa pun juga bertentangan dengan Islam. Menurut saya, Hamas sangat sedikit melakukan kekerasan. Dalam kegiatannya, sebagian besar justru Hamas melakukan hal yang tak terkait kekerasan. Mereka menjalankan rumah sakit, klinik, memberi bantuan makanan bagi yang kelaparan, dan mereka memiliki integritas.
Kemenangan Hamas pada pemilu dua tahun lalu...
Kemenangan Hamas pada pemilu dua tahun lalu karena warga Palestina mengetahui Fatah yang korup. Mereka percaya pada Hamas karena jujur. Saat itu, tak hanya Muslim, tapi juga orang sekuler dan Kristen banyak yang memilih Hamas. J
ika orang mengatakan Hamas kelompok teroris, Israel adalah kelompok teroris sebenarnya. Dan, saya pikir, teroris yang paling buruk dan paling besar di dunia adalah George W Bush. Alqaedah, misalnya, dalam lima tahun terakhir telah membunuh ribuan orang. Namun, dalam waktu yang sama, Bush telah membuat lebih dari jutaan orang tewas.
Selama ini, Pemerintah Amerika Serikat selalu memberikan dukungan penuh kepada Israel. Ketika Anda memutuskan pergi ke Hebron dan berinteraksi dengan Muslim Palestina, apakah ada pertentangan dalam diri Anda sebagai warga AS?
Saya mengerti dan saya menentang kebijakan Amerika Serikat. Saya telah terlibat dalam aksi antikekerasan selama 50 tahun. Saya pernah bekerja dengan Martin Luther King dalam aksi antikekerasan dan juga menentang Perang Vietnam. Saya harus katakan, saya cinta negara saya. Tapi, apa yang dilakukan negara saya membuat saya sangat sedih.
Menurut Anda, Pemerintahan AS mendatang akan mengubah kebijakan mereka soal Palestina- Israel?
Saya tak bisa secara tegas mengatakannya. Sebagian besar politisi yang kemudian terpilih jadi presiden berbuat berbeda dengan yang mereka kampanyekan. Well, dalam soal Palestina, Barack Obama (kandidat dari partai Demokrat, Red) terdengar lebih buruk dibandingkan Bush.
Saat Obama berbicara di Washington DC sebulan lalu, dalam pertemuan American Israel Public Affairs Committee (AIPAC), mengatakan, seluruh Yerusalem milik Yahudi dan tak bisa dipecah. Dia menginginkan suara dari pemilih Yahudi.
Secara politik, Yahudi memberikan suaranya kepada Demokrat. Sementara itu, Kristen sayap kanan, termasuk Christian-Zionism, memberikan dukungan terhadap Partai Republik. Jadi, baik Demokrat maupun Republik punya komitmen yang tinggi kepada Israel.
Apakah Anda setuju bila dikatakan siapa pun yang menjadi presiden AS, keberpihakan AS terhadap Israel tak akan berubah?
Tak akan pernah, sejak Truman (Harry Truman, presiden AS yang mengakui berdirinya Israel pada 1948). Namun, yang harus kita lakukan adalah bagaimana memahami cinta Tuhan. Ini dasar yang mendorong saya melakukan aksi nonkekerasan di Hebron.
*Naskah in merupakan wawancara Harian Republika yang terbit 2008