Komisi X Minta Pemerintah Cabut Penerapan Pajak Pendidikan

Darf RUU Revisi UU Nomor 6 tahun 1983 akan membuat jasa pendidikan terkena pajak

Edi Yusuf/Republika
Sejumlah pelejar SD mengikuti pembelajaran tatap muka (PTM) dengan penerapan protokol kesehatan (Prokes) di salah satu sekolah, di Kota Bandung, pekan lalu. Melonjaknya kasus corona saat ini akan menjadi pertimbangan Pemerintah Kota Bandung dalam memutuskan pelaksanaan PTM atau sekolah tatap muka secara terbatas.
Rep: Dea Alvi Soraya Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selain sembako, pemerintah juga berencana mengenakan pajak pertambahan nilai atau PPN pada jasa pendidikan. Hal ini tercantum dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Draf RUU Revisi UU itu akan menghapus jasa pendidikan sebagai jasa yang tidak dikenai PPN. Ketentuan ayat (3) Pasal 4A diubah menjadi berbunyi, “Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai yakni jasa tertentu dalam kelompok jasa meliputi item a hingga e dan item g, Item g mengatur tentang jasa pendidikan.

Sebagai respons, Anggota Komisi X DPR RI, Prof. Zainuddin Maliki meminta pemerintah untuk mencabut penerapan pajak pendidikan dari RUU KUP. Dia juga menyinggung keagresifan pemerintah dalam menaikkan sumber dana negara dari pajak.

“Selain mengusulkan tax amnesty jilid II, pemerintah juga berencana memungut pajak sembako yang hampir pasti, kalau jadi akan membuat rakyat yang miskin semakin miskin,” ujarnya dalam pernyataan yang diterima Republika, Selasa (15/6).

Dalam draft RUU Perubahan Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1993 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang telah beredar di masyarakat, pemerintah juga akan menarik pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen bagi sekolah atau jasa pendidikan lainnya.

“Pemerintah tampak berambisi untuk menerapkan pajak progresive terhadap pendidikan. Dalam pasal 4A ayat (3) draft RUU KUP tersebut, pendidikan dihapus dari jenis jasa yang tidak dikenai PPN yang berarti pendidikan sengaja dijadikan obyek pajak baru,” ujar anggota Badan Legislatif (Baleg) DPR RI dari Fraksi PAN itu.

"Jika pungutan pajak juga merambah ke dunia pendidikan, tentu harus ditolak," tegasnya, menambahkan bahwa pemerintah seharusnya menyediakan pendidikan gratis, bukan justru memungut pajak pendidikan.

Penerapan pajak pendidikan, kata dia, juga sangat mengesankan sistem kapitalis yang jelas bertentangan dengan Pancasila. Berdasarkan fakta lapangan, di satu sisi masyarakat tidak akan mendapat layanan pendidikan yang lebih baik dari pada layanan yang diberikan pemerintah tahun 2021. Pasalnya pagu anggaran pendidikan tahun 2022 dikurangi lebih Rp 10 triliun, dari Rp 83,5 triliun pagu 2021, menyisakan Rp 73,08 triliun pada pagu indikatif 2022, jelasnya.

"Kalau tidak bisa memberi layanan lebih baik jangan pula menambah beban pajak pendidikan kepada rakyat," pungkas legislator PAN asal Dapil Jatim X Gresik-Lamongan itu.  



BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler