Militer Myanmar Deklarasikan Perang pada Petugas Kesehatan
Di tengah pandemi, petugas kesehatan Myanmar harus bekerja secara diam-diam
REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Militer menembaki sebuah klinik tersembunyi, para petugas kesehatan di dalamnya menangis ketakutan. Klinik yang tersembunyi di balik sebuah kuil, menjadi tempat aman bagi pengunjuk rasa anti-kekuasaan militer untuk mendapatkan perawatan medis.
Namun, kini militer sudah mengetahui lokasi klinik tersebut. Sebuah peluru menghantam leher laki-laki muda yang menjaga pintu. Petugas medis berusaha menghentikan pendarahannya. Lantai licin dengan darah.
Militer Myanmar mendeklarasikan perang dengan petugas kesehatan dan para dokter yang sejak awal menentang kudeta 1 Februari. Petugas keamanan menangkap, menyerang, dan membunuh petugas kesehatan yang dianggap musuh negara.
Di tengah pandemi petugas kesehatan harus bekerja secara diam-diam. Sementara sistem kesehatan negara Asia Tenggara itu sudah rapuh.
"Junta dengan sengaja mengincar seluruh sistem kesehatan sebagai senjata perang," kata salah satu dokter di Yangon yang sudah menjadi buron selama berbulan-bulan, Selasa (6/7).
Rekan-rekan dokter tersebut yang mengelola klinik bawah tanah itu ditangkap selama penyergapan. "Kami percaya merawat pasien, melakukan pekerjaan humanitarian, adalah pekerjaan moral, saya kira tidak akan dituduh melakukan kejahatan," katanya.
Di dalam klinik itu, nyawa pria yang tertembak di lehernya mulai memudar. Sementara saudara perempuannya merapat. Beberapa jam kemudian laki-laki itu meninggal dunia.
Salah satu mahasiswa kedokteran yang nama tidak dapat disebutkan karena khawatir diincar militer mulai menangis. Ia tidak pernah melihat orang ditembak sebelumnya. Kini ia juga terancam ditembak. Dua orang pengunjuk rasa memecahkan kaca jendela sehingga petugas kesehatan bisa selamat.
"Kami sangat menyesal," kata perawat pada pasien-pasiennya.
Satu orang dokter tetap tinggal di klinik untuk menjahit pasien yang terluka. Sementara yang lainnya melompati jendela dan bersembunyi di komplek apartemen terdekat selama berjam-jam. Beberapa diantaranya sangat ketakutan sehingga tidak pernah pulang ke rumah.
"Sejak hari itu saya menangis setiap hari, saya tidak bisa tidur, tidak bisa makan dengan benar, itu hari yang buruk," kata mahasiswa kedokteran tersebut.
Penderitaan yang terjadi sejak militer merebut kekuasaan negara berpenduduk 54 juta orang itu tak kunjung berakhir. Organisasi aktivis Assistance Association for Political Prisoners mencatat petugas keamanan telah membunuh setidaknya 890 orang termasuk seorang anak perempuan berusia 6 tahun yang tewas tertembak di perutnya.
Sekitar 5.100 orang ditahan dan ribuan lainnya dihilangkan secara paksa. Militer yang dikenal Tatmadaw dan polisi memulangkan jenazah ke keluarga mereka dalam keadaan sudah dimutilasi untuk menciptakan teror.
Serangan terhadap petugas medis, salah satu profesi yang paling dihormati di Myanmar, memicu kemarahan. Kini negara itu menjadi tempat yang paling berbahaya bagi petugas media di dunia.
Tahun ini tercatat 240 penyerangan terhadap petugas medis, hampir setengah dari 508 kasus kekerasan terhadap petugas medis di seluruh dunia, paling tinggi di dunia.
"Ini adalah sekelompok orang yang membela yang benar dan melawan pelanggaran hak asasi manusia selama berpuluh-puluh tahun di Myanmar, Tatmadaw sangat ingin menggunakan segala cara untuk menghancurkan hak-hak fundamental dan kebebasan mereka," kata direktur lembaga advokasi dokter yang bermarkas di Amerika, Physicians for Human Right Raha Wala.
Militer mengeluarkan surat penangkapan pada 400 dokter dan 180 suster. Foto-foto mereka dipasang media-media milik pemerintah dengan tulisan 'buron'. Mereka didakwa mendukung dan terlibat dalam gerakan 'pembangkangan sipil'.
Lembaga pemantau konflik di seluruh dunia, Insecurity Insight mengatakan sejak 1 Februari sudah 157 petugas kesehatan Myanmar yang ditangkap, 32 orang terluka dan 12 orang tewas dibunuh. Beberapa pekan terakhir surat penangkapan untuk para perawat bertambah signifikan.
"Pada unjuk rasa di negara lain, petugas medis aman, mereka pengecualian, di sini tidak ada pengecualian," kata Dr. Nay Lin Tun yang telah menjadi buron sejak bulan Februari.