Pesan Satgas Agar Masyarakat tak Sembarangan Booster Vaksin

Secara umum dua dosis vaksin dianggap sudah cukup bagi non-nakes.

ANTARA/Feny Selly
Sejumlah peserta mengantre untuk disuntik vaksin Covid-19. Masyarakat diimbau untuk tidak melakukan mixing (pencampuran) vaksin atau penambahan dosis booster sendiri tanpa pengawasan tenaga kesehatan.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Meiliza Laveda, Febrianto Adi Saputro, Rizky Jaramaya

Tingginya jumlah tenaga kesehatan yang tumbang akibat Covid-19 ditanggapi pemerintah dengan memberikan penambahan vaksin dosis ketiga atau booster vaksin Covid-19. Upaya tersebut diharap memberikan proteksi lebih ke tenaga kesehatan yang sehar-hari berkutat dalam lingkungan dengan kadar virus tinggi.

Masyarakat pun diimbau tidak melakukan penambahan vaksin dosis ketiga sebagai booster (penguat) tanpa pengawasan tenaga kesehatan. Pencampuran merek vaksin memerlukan persetujuan dokter.

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, menyampaikan, secara umum dua dosis atau dua suntikan vaksin Covid-19 sudah cukup memberikan kekebalan individu bagi masyarakat. "Dua kali dosis vaksin sudah cukup membentuk kekebalan individu. Sehingga masyarakat diimbau untuk tidak melakukan mixing (pencampuran) vaksin atau penambahan dosis booster sendiri tanpa pengawasan tenaga kesehatan," kata Wiku dalam keterangan pers, Selasa (13/7).

Wiku menyampaikan, vaksin Covid-19 masih terbukti memiliki keampuhan untuk menekan peluang keparahan Covid-19 terhadap semua varian virus. Namun dengan lonjakan kasus yang terjadi di sejumlah negara, salah satu solusi yang disodorkan adalah pencampuran merek vaksin atau pemberian dosis ketiga sebagai booster. Catatannya, pemberian booster hanya untuk tenaga kesehatan yang memiliki risiko tertinggi penularan Covid-19.

Selain menambah dosis, pencampuran merek vaksin juga dilakukan untuk menambah keampuhan vaksin dalam menangkal penularan. Mixing vaccine alias pencampuran vaksin sebelumnya sudah dilakukan untuk menangani penyakit menular seperti HIV dan Ebola.

"Misalnya Thailand yang akan suntikkan vaksin Astrazeneca pada tenaga kesehatan yang sudah dapat dua kali dosis vaksin Sinovac demi proteksi tambahan bagi tenaga kesehatan," kata Wiku.

Sampai hari ini Indonesia sudah mengamankan lebih dari 130 juta dosis vaksin dari berbagai produsen. Beberapa merek yang sudah diterima Indonesia adalah Sinovac, Sinopharm, Astrazeneca, dan Moderna.

Rencananya, tenaga kesehatan akan memperoleh dosis ketiga secepatnya. Saat ini vaksin yang akan digunakan untum booster yaitu Moderna sudah tiba di Tanah Air.
Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin, mengungkapkan rencananya pekan ini akan dilakukan penyuntikan vaksin yang ketiga untuk para dokter dan tenaga kesehatan.

"Kita sudah mengeluarkan policy bahwa rencananya mulai minggu ini kita akan memberikan suntikan ketiga booster tapi ini hanya untuk para nakes," kata Budi dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Selasa (13/7).

Budi mengatakan suntikan vaksin yang ketiga untuk nakes diperlukan untuk memproteksi para nakes agar lebih tahan menghadapi gelombang lonjakan kasus covid-19. Rencananya para nakes akan disuntikan dengan vaksin Moderna.

"Kita sudah hitung walaupun dengan suntikan ketiga yang akan kita berikan vaksinnya Moderna untuk para nakes untuk booster," ungkapnya.

Vaksin Moderna telah tiba di Indonesia pada Ahad (11/7). Bea Cukai Soekarno-Hatta memberikan fasilitas penanganan segera atau rush handling untuk importasi 3 juta dosis vaksin impor Moderna.

Vaksin Moderna diangkut menggunakan maskapai penerbangan Qatar Airways QR8192. Vaksin yang tiba di Bandara Soekanro-Hatta pada pukul 12.30 WIB, dan dikemas ke 56 pallet tersebut, selanjutnya dibawa ke Gudang Rush Handling PT JAS.

Vaksin Moderna ini membutuhkan suhu rendah untuk tetap terjaga kualitasnya, maka Bea Cukai Soekarno-Hatta memberikan fasilitas berupa rush handling. Yaitu pelayanan kepabeanan yang diberikan atas barang impor tertentu yang karena karakteristiknya memerlukan pelayanan segera untuk dikeluarkan dari kawasan pabean atau bandara.






Baca Juga


Penggunaan merek berbeda saat vaksinasi sudah menjadi praktik di sejumlah negara. Kemarin, ilmuwan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan peringatan untuk tidak memakai vaksin Covid-19 berbeda merek dalam pemberian dosis kedua di tengah ketidakpastian keamanan dan kemanjurannya.

Misalnya, memberikan vaksin Pfizer untuk dosis pertama, lalu menggunakan vaksin yang dikembangkan AstraZeneca dosis kedua, atau sebaliknya. "Tindakan ini berbahaya. Sejauh ini, kita belum memiliki data dan bukti ilmiah tentang padu padan vaksin Covid-19," kata Kepala Ilmuwan WHO Dr Soumya Swaminathan, dilansir Fox News, Selasa (13/7).

Swaminathan mengatakan, penelitian saat ini sedang berlangsung. Namun, ia telah mendengar temuan awal dari peneliti University of Oxford yang mengungkapkan penyuntikan vaksin AstraZeneca lebih dulu disusul pemberian vaksin Pfizer akan membangkitkan antibodi dan respons sel T yang lebih tinggi daripada urutan sebaliknya.

Respons antibodi tertinggi terlihat setelah dua dosis Pfizer sesuai jadwal. Sementara itu, respons sel T tertinggi berasal dari pemberian vaksin AstraZeneca diikuti dosis Pfizer.

Penyelidik percobaan yang terlibat dengan studi AstraZeneca-Pfizer yang merupakan profesor di bidang pediatri dan vaksinologi University of Oxford, Prof Matthew Snape, mencatat dalan rilis pracetak studi bahwa temuan tersebut dapat memungkinkan lebih banyak fleksibilitas dalam peluncuran vaksinasi global. Di lain sisi, Swaminathan memperingatkan, sebaiknya seluruh negara bersikap bijak dalam program vaksinasi.

"Situasi akan kacau di negara-negara jika warga mulai memutuskan sendiri kapan dan siapa yang harus mengambil dosis kedua, ketiga, atau keempat," ujar dia.

WHO juga menegaskan, negara-negara tidak boleh memesan suntikan booster atau dosis vaksin tambahan untuk populasi yang divaksinasi Covid-19. Alasannya, ada negara lain belum menerima vaksin Covid-19.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus pada Senin (12/7) mengatakan, kematian akibat virus corona kembali meningkat dan varian Delta menjadi dominan. Menurutnya, masih banyak negara belum menerima dosis vaksin yang cukup untuk melindungi petugas kesehatan mereka.

Kesenjangan global dalam pasokan vaksin Covid-19 sangat tidak merata dan tidak adil. Beberapa negara dan wilayah sebenarnya memesan jutaan dosis booster, sementara negara lain memiliki persediaan terbatas untuk memvaksinasi petugas kesehatan mereka dan yang paling rentan," kata Tedros, dilansir Aljazirah.

Tedros mengatakan, produsen vaksin Pfizer dan Moderna adalah perusahaan yang bertujuan untuk memberikan suntikan booster di negara-negara yang sudah memiliki tingkat vaksinasi tinggi.

Tedros mengatakan mereka seharusnya perusahaan tersebut mengarahkan dosis mereka ke skema Covax. Skema itu merupakan program pembagian vaksin untuk negara-negara berpenghasilan menengah dan miskin.

“Prioritasnya sekarang adalah memvaksinasi mereka yang tidak menerima dosis dan perlindungan. Saya bertanya kepada Anda, siapa yang akan menempatkan petugas pemadam kebakaran di garis depan tanpa perlindungan?  Siapa yang paling rentan terhadap kobaran api pandemi Covid-19? Para petugas kesehatan di garis depan, orang tua dan mereka yang rentan," kata Tedros.


Orang yang divaksin flu lebih jarang terinfeksi covid-19. - (republika)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler