Kaki Perempuan Terlihat Saat Sholat, Haruskah Mengulang?

Fatwa Muhammadiyah menjelaskan perincian batasan aurat pada wanita dan perbedaannya.

Republika/Mardiah
Kaki Perempuan Terlihat Saat Sholat, Haruskah Mengulang?
Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, 

Baca Juga


Pertanyaan: 

Assalamu ‘alaikum wr.wb.

Saya Hidayah dari Tangerang mau bertanya, kalau saat sholat, rambut atau kaki kita terlihat sedikit (bagi perempuan), apakah harus mengulangi sholat alias batal?

Terima kasih, mohon penjelasannya.

Nur Hidayah (Disidangkan pada Jum‘at, 3 Zulhijah 1441 H / 24 Juli 2020 M)

Jawaban:

Wa ‘ailaikumus-salam wr.wb.

Terima kasih atas pertanyaan saudara, berikut ini kami sampaikan jawabannya.

Sebelum membahas mengenai hukum tersingkapnya aurat di tengah shalat, maka perlu lebih dulu didefinisikan aurat muslimah dalam syariat Islam. Hal ini telah sedikit disinggung dalam fatwa terdahulu di majalah Suara Muhammadiyah No. 18-19 tahun 2003 atau dapat diakses melalui link https://fatwatarjih.or.id/penjelasan-seputar-jilbab-dan-aurat-wanita-muslimah/ dan https://fatwatarjih.or.id/aurat-wanita-muslimah/.

Fatwa di atas menjelaskan perincian batasan aurat pada wanita dan perbedaannya di kalangan ulama fikih dalam memaknai firman Allah Q. an-Nur (24) ayat 30-31 dan al-Ahzab (33) ayat 50. Asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat, dengan alasan firman Allah: Wala Yubdina Zinatahunna, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya (Q.S. an-Nur (24): 31).

Ayat tersebut dengan tegas melarang menampakkan perhiasannya. Mereka membagi zinah (perhiasan) menjadi dua macam: Pertama zinah khalqiyyah (perhiasan yang berasal dari penciptaan Allah). Seperti wajah, ia adalah asal keindahan dan menjadi sumber fitnah. Kedua, zinah muktasabah (perhiasan yang dibuat manusia), seperti baju, gelang dan pupur.

Ayat tersebut mengharamkan kepada wanita menampakkan perhiasan secara mutlak, baik perhiasan khalqiyyah maupun perhiasan muktasabah, maka haram bagi wanita menampakkan sebagian anggota badannya atau perhiasaannya dihadapan orang laki-laki. Mereka mena’wilkan firman Allah: “Illa ma zahara minha” (kecuali apa yang biasa tampak daripadanya), bahwa yang dimaksudkan dengan ayat tersebut ialah: “menampakan tanpa sengaja”, seperti tersingkap karena angin, baik wajah atau anggota badan lainnya, sehingga ma’na ayat tersebut menjadi sebagai berikut: “Janganlah mereka menampakkan perhiasannya selama-lamanya”.

Kemudian Syafi’iyyah dan Hanabilah juga bersandar pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra, ia menceritakan, bahwa Nabi saw memboncengkan al-Fadl ibnul-Abbas pada hari Nahr dibelakangnya, dia adalah orang yang bagus rambutnya, dan berkulit putih. Ketika itu datanglah seorang wanita minta fatwa kepada beliau, kemudian al-Fadl melihatnya dan wanita itupun melihat al-Fadl. Kemudian Rasulullah saw memalingkan wajah al-Fadl ke arah lain… (H.R. al-Bukhari, dari Ibni Abbas, bab Hajji Wada’)

 

Sedangkan imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan, dengan alasan bahwa firman Allah “Wa la yubdiha zinatahunna illa ma zahara minha”, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak daripadanya (Q.S. an-Nur (24): 31). Ayat tersebut mengecualikan apa yang biasa tampak, maksudnya adalah wajah dan dua telapak tangan. Pendapat tersebut dinukil dari sebagian sahabat dan tabi’in. Sa’id bin Jabir juga berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan “apa yang biasa tampak” adalah wajah dan dua telapak tangan, demikian pula ‘Ata’. (at-Tabariy, Tafsir at-Tabariy, XVIII: 118). Mereka menguatkan pendapat tersebut dengan hadis yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah sebagai berikut,

أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ [أخرجه أبو داود عن عائشة].

Bahwa Asma’ binti Abi Bakr masuk ke tempat Rasulullah saw dengan memakai baju yang ringan, kemudian Rasulullah saw berpaling daripadanya dan bersabda: Hai Asma’ sesungguhnya apabila wanita itu sudah sampai masa haid, tidaklah boleh dilihat sebagian tubuhnya kecuali ini dan ini, dan beliau menunjuk kepada muka dan kedua telapak tangannya [H.R. Abu Dawud, dari ‘Aisyah].

Dalil selanjutnya yang memperkuat pendapat keseluruhan tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan adalah ketika Ali ash-Shabuny menafsirkan Q.S. an-Nur (24) ayat 30-31 dalam tafsir Rawai’u al-Bayan. Ia mengomentarinya dengan mengatakan wajah dan dua telapak tangan bukan aurat, ialah bahwa dalam melakukan sholat dan ihram, wanita harus membuka wajah dan dua telapak tangannya.

Seandainya kedua anggota badan tersebut termasuk aurat, niscaya tidak diperbolehkan membuka keduanya pada waktu mengerjakan shalat dan ihram, sebab menutup aurat adalah wajib. Tidaklah sah sholat atau ihram seseorang jika terbuka auratnya. (as-Sabuniy, 1971, II: 155).

Al-Qasimiy mengutip pendapat as-Suyuthi dalam al-Iklil: Ibnu Abbas, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, berpendapat bahwa wajah dan dua telapak tangan bukan aurat. Pendapat inilah yang dijadikan alasan bagi orang yang memperbolehkan melihat wajah dan telapak tangan wanita selama tidak menimbulkan fitnah. (al-Qasimiy, 1978, XII: 195).

 

Muhammadiyah lebih meyakini pada diri muslimah keseluruhannya adalah aurat kecuali bagian wajah dan telapak tangan (bagian dalam dan luar), hal ini didasarkan pada pemahaman komprehensif atas ayat-ayat al-Quran surat dan beberapa hadis maqbul. Di antaranya, ayat lain yang memiliki munasabah dengan ayat-ayat sebelumnya adalah Q.S. al-A‘raf (7) ayat 31,

يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَٱشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوٓا إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Kata zinatakum pada ayat tersebut dimaknai dengan baju ketika sholat atau terjemahan bebasnya adalah menutup aurat ketika sholat.

Rasulullah saw pernah bersabda:

لَا يقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ امْرَأَةٍ قَدْ حَاضَتْ إِلَّا بِخِمَارٍ.

Allah tidak menerima sholat wanita yang telah baligh, kecuali dengan memakai jilbab [H.R. Ibnu Khuzaimah dan al-A‘dzami mengatakan sanadnya sahih].

Juga hadits Rasulullah saw kala berbicara dengan Asma’ tentang aurat perempuan yang boleh terlihat sebagaimana telah disebutkan di atas.

Telapak tangan pada kutipan dalil-dalil di atas dimaknai bagian dalam dan luar/punggung tangan. Hal ini dinukil dari pendapat Ibnu ‘Abbas, Abu Ishaq as-Suba’i dan Abu al-Ahwas dalam tafsir Ibnu Katsir berkenaan dengan lafal Wala Yubdina Zinatahunna adalah memperbolehkan cincin seorang muslimah untuk terlihat, sementara gelang tangan-kaki, anting-anting dan kalung tidaklah diperbolehkan dengan alasan letak perhiasan tersebut di bagian tubuh yang merupakan aurat muslimah dan bukan pada zat perhiasan itu sendiri (Ibnu Katsir, 2002, III: 348).

 

Selain itu, mengutip dari kitab Adab al-Mar’ah fil-Islam (Keputusan Muktamar Tarjih XX tahun 1976 di Garut) dikatakan menutup aurat pada diri muslimah juga tidak hanya sekedar menutup tapi juga tidak menerawang, ketat dan membentuk tubuh seperti halnya pada hadis Nabi saw dalam kitab al-Mu‘jam al-Ausath berikut ini,

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صِنْفَانِ مِنْ أُمَّتِي مِنْ أهْلِ النَّارِ، لَمْ أرَهُمْ بَعْدُ: نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ، مَائِلَاتٌ مُمِيْلَاتٌ، عَلَى رُؤُوْسِهِنَّ أمْثَالُ أسْنِمَةِ الإبِلِ، لَا يَدْخُلْنَ الجَنَّةَ، وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا، وَرِجَالٌ مَعَهُمْ أَسْيَاطٌ كَأَذْنَابِ البَقَرِ، يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ.

Ada dua golongan umatku dari penduduk neraka yang aku belum melihat mreka, (yaitu) 1. perempuan-perempuan yang berpakaian tapi telanjang, cenderung kepada kemaksiatan dan membuat orang lain juga cenderung kepada kemaksiatan. Kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang berlenggak-lenggok. Mereka tidak masuk surga dan tidak mencium bau wanginya; 2. dan orang-orang yang membawa cemeti seperti ekor sapi untuk mencambuk manusia (maksudnya penguasa yang zalim).

Hadits-hadits di atas kembali menguatkan firman-firman Allah sebelumnya mengenai syarat menutup aurat untuk sahnya sholat, sehingga apabila aurat yang seharusnya ditutupi ketika sholat dibiarkan terbuka secara sengaja, maka menjadi batal sholatnya.

Sementara dari pertanyaan saudara di atas, kami pahami sebagai tersingkapnya aurat muslimah di tengah sholat secara tidak sengaja dan bukannya membuka aurat di tengah sholat dengan sengaja. Hadits Rasulullah yang secara sarih menceritakan tentang kasus serupa adalah riwayat dari Amr Bin Salamah sebagai berikut,

كُنَّا بِحَاضِرٍ يَمُرُّ بِنَا النَّاسُ إِذَا أَتَوُا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانُوا إِذَا رَجَعُوا مَرُّوا بِنَا فَأَخْبَرُونَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَذَا وَكَذَا وَكُنْتُ غُلاَمًا حَافِظًا فَحَفِظْتُ مِنْ ذَلِكَ قُرْآنًا كَثِيرًا فَانْطَلَقَ أَبِي وَافِدًا إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ قَوْمِهِ فَعَلَّمَهُمُ الصَّلاَةَ فَقَالَ يَؤُمُّكُمْ أَقْرَؤُكُمْ‏.‏ وَكُنْتُ أَقْرَأَهُمْ لِمَا كُنْتُ أَحْفَظُ فَقَدَّمُونِي فَكُنْتُ أَؤُمُّهُمْ وَعَلَىَّ بُرْدَةٌ لِي صَغِيرَةٌ صَفْرَاءُ فَكُنْتُ إِذَا سَجَدْتُ تَكَشَّفَتْ عَنِّي فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنَ النِّسَاءِ وَارُوا عَنَّا عَوْرَةَ قَارِئِكُمْ ‏.‏ فَاشْتَرَوْا لِي قَمِيصًا عُمَانِيًّا فَمَا فَرِحْتُ بِشَىْءٍ بَعْدَ الإِسْلاَمِ فَرَحِي بِهِ … [رواه أبو داود] .

Kami tinggal di kampung yang dilewati para sahabat ketika mereka hendak bertemu Nabi saw di Madinah. Sepulang mereka dari Madinah, mereka melewati kampung kami. Mereka mengabarkan bahwa Rasulullah saw bersabda demikian dan demikian. Ketika itu, saya adalah seorang anak yang cepat menghafal, sehingga aku bisa menghafal banyak ayat al-Qur’an dari para sahabat yang lewat. Sampai akhirnya, ayahku datang menghadap Rasulullah saw bersama masyarakatnya, dan beliau mengajari mereka tata cara shalat. Beliau bersabda:  يَؤُمُّكُمْ أَقْرَؤُكُمْ(yang menjadi imam adalah yang paling banyak hafalan al-Qurannya, bagus bacaannya dan baik pemahamannya), sementara Aku (Amr bin Salamah) adalah orang yang paling banyak hafalannya, karena aku sering menghafal, sehingga mereka menyuruhku untuk menjadi imam. Aku pun mengimami mereka dengan memakai pakaian kecil milikku yang berwarna kuning. Ketika aku sujud, tersingkap auratku, sehingga ada seorang wanita berkomentar:  وَارُوا عَنَّا عَوْرَةَ قَارِئِكُمْ (tolong tutupi itu aurat imam kalian). Kemudian mereka membelikan baju Umaniyah untukku. Tidak ada yang lebih menggembirakan bagiku setelah Islam, melebihi baju itu [H.R. Abu Dawud]

Para ulama fikih berbeda pendapat dalam menghukumi tersingkapnya aurat orang yang sedang shalat secara tidak sengaja. Ada yang menghukuminya batal secara langsung dan ada pula yang tidak dengan disertai ketentuan-ketentuannya. Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa apabila tersingkapnya sebagian aurat ketika shalat dalam keadaan orang yang shalat mampu untuk menutupinya namun ia tidak bersegera untuk melakukannya maka batal shalatnya. Menjadi pengecualian apabila tersingkapnya aurat diakibatkan oleh angin, lalai, hewan atau sesuatu yang besar di luar kendali lalu kemudian orang yang shalat berusaha untuk menutupinya, maka shalatnya tidaklah batal (Wahbah az-Zuhaili, 1985, 1: 582).

Ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah menghukumi tersingkapnya aurat dengan didasarkan pada dua kriteria, yakni sengaja atau tidak sengaja. Sebesar apapun aurat yang tersingkap apabila hal itu disebabkan oleh ketidaksengajaan, maka shalatnya tidak batal, dengan catatan begitu orang yang sedang shalat itu mengetahui, maka segera ia tutup aurat tersebut, karena jika tidak, asas tersingkapnya aurat berubah menjadi asas kesengajaan.

Sementara ulama Malikiyyah mendasarkan pada bagian aurat mana yang tersingkap, selama yang tersingkap adalah bukan aurat tempat keluarnya najis berat, maka shalatnya tidak batal. Berbeda hal dengan Malikiyyah, Hanafiyyah lebih menitikberatkan pada ukuran aurat yang tersingkap, lamanya durasi aurat itu tersingkap dan sengaja atau tidak sengajanya aurat tersebut tersingkap. Apabila tersingkap tidak melebihi ¼ aurat dan tidak melampaui beberapa rukun shalat (atau bisa dikatakan tidak lama) dan didasari atas ketidaksengajaan, maka shalatnya tetap sah. Namun apabila salah satu dari syarat tersebut tidak terpenuhi maka shalatnya telah rusak seketika (Wahbah az-Zuhaili, 1985, 1: 582).

Memaknai hadis Rasulullah dan beberapa pendapat ulama fikih di atas, maka menjadikan asas kesengajaan atau ketidaksengajaan sebagai sandaran pemberlakuan hukum tersingkapnya aurat ketika shalat adalah lebih tepat. Hal ini karena jika batal atau tidaknya sebuah shalat disandarkan pada kriteria ukuran sebanyak apa aurat yang terlihat atau durasi berapa lama aurat itu tersingkap akan menjadi subjektif.

Oleh karena itu, langkah yang hati-hati adalah apabila seseorang ditengah shalatnya merasa auratnya tersingkap secara tidak sengaja, maka ia harus segera menutupinya kembali dan hal ini tidak merusak atau membatalkan shalatnya. Sedangkan apabila tersingkapnya aurat tersebut tidak diketahui oleh orang yang shalat hingga akhir shalat selesai, maka tidaklah batal, mengingat firman Allah berikut ini,

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

Mereka berdoa: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah" [Q.S. al-Baqarah (2): 286].

فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ ۗ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ.

Bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. [Q.S. at-Taghabun (64): 15].

Juga sabda Rasulullah sebagai berikut,

إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ [رواه ابن ماجه].

“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku ketika ia tidak sengaja, lupa atau dipaksa.” [H.R. Ibnu Majah, no. 2043].

Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan hadits ini sahih karena memiliki penguat dari jalur lain. Dengan demikian, ketidaksengajaan menyebabkan tindakan seseorang tidak dapat dijatuhi hukum, termasuk di dalamnya ialah tidak sengaja terbuka aurat ketika shalat dan baru mengetahuinya setelah shalat berakhir.

Wallahu a‘lam bish-shawab

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 7 Tahun 2021

Link artikel asli

sumber : Suara Muhammadiyah
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler