Pandemi Covid-19 yang Masih Jauh dari Berakhir
Upaya preventif harus terus dilakukan salah satunya dengan percepatan vaksinasi.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati
Sekolah yang kembali dibuka, bioskop yang juga sudah akan menerima penonton, hingga mal yang mulai dipadati pengunjung merupakan efek dari penurunan kasus Covid-19 di Indonesia. Meski kasus Covid-19 melandai, epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengingatkan masa krisis pandemi Covid-19 belum berakhir.
"Pandemi ini berpotensi paling cepat dicabut akhir tahun depan. Itu potensi yang optimistis," ujarnya saat mengisi konferensi virtual bertema Waspada! Masa Krisis Pandemi Covid-19 Belum Berakhir, Selasa (14/9). Ia meminta masyarakat harus hidup berdampingan dengan Covid-19.
Artinya bisa hidup bersama dengan tidak mengganggu kesehatan publik atau sektor vital dalam satu negara. Sebab, dia melanjutkan, menghadapi Covid-19 sama seperti menghadapi penyakit lain yang bisa ditanggulangi.
Untuk bisa masuk ke tahap hidup bersama dengan Covid-19 perlu banyak sekali persiapan yang harus dilakukan. "Kalau tak siap maka kita (Indonesia) akan mengalami masih banyak korban jiwa di pertengahan hingga akhir tahun depan. Jadi, kalau bicara akhir Covid-19 masih panjang ceritanya, tetapi kalau bicara terkendali harus dilakukan," ujarnya.
Ia menyontohkan, Jakarta adalah salah satu provinsi yang bisa memberi contoh bagaimana mencapai level Covid-19 yang terkendali. Perjalanan Jakarta menuju kondisi terkendali namun disebutnya panjang. Karena ada upaya yang harus dilakukan berbasis sains yaitu upaya tes, telusur, dan tindak lanjut (3T), protokol kesehatan 5M, dan vaksinasi. Jadi, ia menegaskan tak bisa kasus yang tiba-tiba terkendali.
"Karena ada daerah yang tiba-tiba positivity ratenya menurun, itu bisa dilakukan dalam waktu relatif singkat tanpa ada berbasis sains yang kuat. Ini berbahaya karena lemah," katanya.
Ia menegaskan, pengendalian Covid-19 penting dilakukan karena kini dunia termasuk Indonesia menghadapi mutasi virus seperti varian Mu hingga varian Delta. Ia menjelaskan, jika dulu virus tidak bermutasi dan stabil dalam lima tahun tetapi sekarang varian baru Covid-19 muncul setiap pekan. "Tetapi varian baru itu tidak selalu merugikan manusia, bahkan kadang bisa merugikan si virus itu sendiri," katanya.
Saat ini Dicky melihat upaya terus memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sampai 20 September 2021 untuk menekan laju penularan kasus Covid-19 sebagai strategi yang tepat. "PPKM level tinggi adalah satu strategi yang sudah tepat. Karena sejarah pandemi di masa modern memang harus seperti itu, strateginya bergradasi," katanya.
Ia menambahkan, organisasi kesehatan dunia PBB (WHO) juga membuat kebijakan seperti PPKM berlevel tetapi istilahnya adalah Public Health and Social Measures (PHSM). Lebih lanjut, ia mengibaratkan PPKM sebagai penjaga gawang selama masa pandemi. Ini sama seperti saat lalu lintas padat perlu ada polisi yang memastikan situasi jangan menjadi lebih buruk.
"Ini peran PPKM. Ini harus dipahami semua pihak, saya kira ini perlu disampaikan karena masyarakat suka tanya kapan PPKM berakhir," katanya.
Ia menambahkan, PPKM berakhir ketika pandemi Covid-19 berakhir. Di satu sisi, ia mengingatkan meski PPKM terus diterapkan, bukan berarti ini mematikan ekonomi, usaha kalau wilayah tersebut ada di level 1 dan 2 atau minimal 3. Sementara kalau daerah tersebut berada di level 4 artinya sama seperti semi lockdown.
Dicky meminta tingkatan level inilah yang harus disampaikan pada publik. "Jadi, wilayah yang menerapkan PPKM level 1 bisa lebih longgar, misalnya bisa makan dengan maksimal empat orang dan kapasitas restorannya bisa 80 persen," ujarnya. Lebih lanjut ia meminta semua pihak menyadari bahwa selama PPKM tidak ada kapasitas tempat publik sampai 100 persen.
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mengapresiasi upaya pemerintah Indonesia yang dinilai berhasil menangani Covid-19 yang sampai diakui dunia termasuk Universitas John Hopkins. Kendati demikian, PB IDI mengingatkan pandemi susah diprediksi, sehingga pemerintah diminta melakukan tiga upaya, salah satunya preventif dengan mempercepat laju vaksinasi.
Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Slamet Budiarto mengaku pihaknya memberikan apresiasi untuk pemerintah yang telah bisa mengendalikan pandemi dengan cara PPKM level 3 dan 4. "Karena virus itu kalau tidak ada mobilitas dan tak ada penularan kemudian dia mati. Jadi, sudah pasti kalau PPKM dilakukan akan turun kasusnya," ujarnya saat dihubungi Republika, Selasa (14/9).
Kendati demikian, ia mengingatkan pandemi ini susah diprediksi. Dulu ia memperkirakan gelombang I kasus Covid-19 hanya terjadi pada Maret 2020 dan setelah itu landai ternyata kembali naik kasusnya pada Oktober 2020 hingga Februari 2021. Kemudian, dia melanjutkan, kasus kembali landai dan kembali meledak kasusnya Juni 2021 kemarin.
Ia menjelaskan, untuk menangani pandemi ada beberapa upaya yaitu promotif, preventif, dan kuratif. "Promotif sudah dilakukan dengan sosialisasi supaya masyarakat tidak termakan hoaks, kemudian upaya preventif dengan PPKM juga sudah dilakukan maksimal dan itu benar tetapi kalau tanpa diikuti vaksinasi yang dipercepat maka kurang maksimal. Sekarang yang sudah mendapatkan vaksinasi dua dosis sekitar 42,5 juta atau 20,44 persenan, itu harus dipercepat lagi," katanya.
Ia menganalogikan kecepatan vaksinasi seperti membersihkan rumput di lapangan sepak bola. Jika tak cepat dilakukan, baru membersihkan rumput di tengah-tengah lapangan ternyata rumput yang telah dipangkas sebelumnya kembali tumbuh. Ia menambahkan, ini sama seperti vaksin, kalau tidak cepat dilakukan maka vaksin yang sudah diberikan pasa masyarakat sebelumnya maka bisa mengalami antibodinya yang turun atau bahkan hilang.
Kalau target vaksinasi pemerintah sekitar 206 jutaan orang dan lajunya berjalan lambat, ketika baru mencapai 100 juta dosis kedua maka antibodi yang sudah divaksin terlebih dahulu akan menurun. Sehingga, dia melanjutkan, orang yang telah divaksin terlebih dahulu butuh penguat (booster). Kemudian, dia melanjutkan, kekebalan komunitas (herd immunity) sulit tercapai.
"Jadi, pemerintah berlomba dengan waktu karena herd immunity itu dicapai dengan kecepatan vaksin, kedua ketersediaan vaksin makanya dianalogikan dengan memotong rumput," ujarnya.
Ia mengusulkan kalau kemampuan vaksinasi dosis kedua yang jadi dosis lengkap bisa 2 juta per hari untuk segera mewujudkan herd immunity. Ia menghitung jika 2 juta sehari dikali selama sebulan 30 hari menjadi 60 juta penyuntikan artinya dalam 3 bulan ke depan bisa terwujud herd immunity. Sebab, dia melanjutkan, penyuntikan dosis kedua sudah mencapai 180 juta kemudian ditambah 42,5 juta.
"Kalau vaksinasi tidak cepat dilakukan maka herd immunity susah tercapai dan kalau ada gelombang empat, masyarakat jadi gampang sakit dan bisa naik lagi kasusnya," katanya.
Selain itu, ia meminta pemerintah melakukan upaya kuratif dengan menyiapkan rumah sakit, jadi tidak kaget kalau kasus meledak lagi. Artinya, dia melanjutkan, fasilitas kesehatan tetap siaga walau kasus menurun dan rumah sakit banyak yang dialihfungsi tetapi sewaktu-waktu kalau kasus meledak kasusnya bisa segera dikonversi.
"Kemudian siapkan tempat tidur di isolasi terpusat, jangan sampai mengulangi kesalahan kemarin ada pasien Covid-19 meninggal dunia saat isolasi mandiri. Padahal, banyak tempat yang bisa digunakan jadi tempat isolasi terpusat," ujarnya.
Ia menambahkan, upaya kuratif perlu dilakukan untuk menyiapkan obat, sumber daya manusia, dan mencegah kematian. Artinya, dia melanjutkan, upaya kuratif harus dilakukan sebagai usaha untuk mencegah orang yang terinfeksi Covid-19 tidak meninggal dunia atau cacat dengan cara menyiapkan tenaga kesehatan atau obat-obatan dan oksigen supaya lebih siap.
"Kalau promotif, preventif mencegah sakit dengan vaksin dan PPKM, kuratif sudah dilakukan saya kira bagus," katanya.
Yang tak kalah penting, dia menambahkan, yaitu protokol kesehatan harus tetap dilakukan. Jadi jangan lengah meski kasus Covid-19 turun.