Pegawai KPK: Kedok TWK akan Terbongkar

Presiden Jokowi diminta bertindak sebelum tanggal 30 September.

Antara/Muhammad Adimaja
Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (non aktif) Giri Suprapdiono berpose usai menghadiri debat soal polemik Tes Wawancara Kebangsaan (TWK) pegawai KPK di gedung KPK Merah Putih, Jakarta, Jumat (4/6/2021). Giri Suprapdiono menyampaikan bahwa debat tersebut dilakukan untuk membuktikan TWK yang dilakukan kepada para pegawai KPK merupakan upaya penyingkiran pegawai atau tidak.
Rep: Haura Hafizhah Red: Ilham Tirta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK nonaktif, Giri Suprapdiono mengatakan, pihaknya masih berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengambil alih alih status 57 pegawai sebelum tanggal 30 September 2021. KPK telah menyatakan memberhentikan para pegawai yang lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pada tanggal tersebut.

Pemecatan para pegawai itu dikritik berbagai pihak karena dinilai sebagai usaha pelemahan KPK. Proses TWK dinilai cacat hukum dan penuh intrik untuk menyingkirkan para penyidik profesional di KPK, seperti Novel Baswedan.

Giri menegaskan, Surat Keputusan (SK) pemecatan belum selesai atau belum endgame. Apalagi, Komnas HAM dan Ombudsman sudah menyampaikan secara formal rekomendasinya kepada Presiden Jokowi. Diketahui Komnas HAM menyatakan TWK mengandung pelanggaran HAM, termasuk adanya pelecehan seksual. Sementara Ombudsman menyatakan TWK penuh malaadministrasi dan melanggar prosedur.



"Lalu, untuk menyalurkan pegawai Tidak Memenuhi Syarat (TMS) ke BUMN atau tempat lain saat ini belumlah di waktu yang tepat, karena Pimpinan KPK punya PR panjang atas tindak lanjut atas putusan MA, MK, Komnas HAM, dan Ombudsman. Putusan dan rekomendasi lembaga tersebut yang harus dilakukan KPK terlebih dahulu, salah satunya mengangkat 75 menjadi PNS sebelum tenggat waktu Oktober 2021," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Sabtu (18/9).

Ia melanjutkan, tawaran ke BUMN atau lembaga lain adalah peluang bagus untuk membangun antikorupsi di korporasi atau institusi. Namun, harus dilakukan di waktu dan proses yang tepat.

"Tawaran pimpinan KPK ke 56 pegawai saat ini menjadi masalah karena patut kami duga sebagai upaya penggembosan perjuangan kami. Kalau kami melihat form yang mereka edarkan ada syarat permintaan permohonan kepada pimpinan untuk menyalurkan, di sisi lain mereka menyatakan kami tidak bisa dibina, tidak pancasilais dan langsung dinonjobkan. Ini penghinaan bagi kami. Prosesnya yang melukai kami, bukan BUMN atau lembaganya," ujar dia.

Selain itu, pimpinan KPK tidak mempunyai tugas dan kewenangan untuk menjanjikan atau menyalurkan pegawai masuk BUMN atau lembaga lain dan ini bisa menjadi isu trading influence (jual beli pengaruh). "Menurut kami, yang paling tepat menyalurkan kami adalah negara, dalam hal ini Presiden RI karena membawahi lembaga negara dan BUMN," kata dia.

Apabila para pegawai dipandang dibutuhkan Indonesia, Giri meyakini keputusan negara akan lebih baik. Namun, cita-cita mereka adalah kembali bekerja di KPK. "Memberantas korupsi, membangun harapan kami menjadi negara maju dan sejahtera yang bersih," kata dia.

Ia menambahkan, Pimpinan KPK harus menunggu perintah presiden, karena ini adalah ranah pemerintah sebagaimana hasil MA, MK, Ombudsman, dan Komnas HAM. "Padahal kami masih punya waktu sampai pertengahan Oktober. Ketergesaan ini mirip dengan SK 652 tentang nonjob 75 pegawai. Cepat atau lambat kedok ini akan terbuka," kata dia.

Sebelumnya, KPK mengumumkan pemberhentian 57 pegawai yang dinilai tidak memenuhi syarat  berdasarkan TWK, termasuk penyidik senior Novel Baswedan. Pemberhentian tersebut berlaku efektif per 1 Oktober 2021 nanti. "Kepada pegawai KPK yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan tidak mengikuti pembinaan melalui diklat bela negara, diberhentikan dengan hormat dari pegawai KPK," kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler