Keadilan Petani Indonesia dalam Kontestasi Politik Oligarki
Keadilan Petani Indonesia dalam Kontestasi Politik Oligarki
Seperti yang kita ketahui bahwa peroalan agraria terus terjadi di bumi pertiwi ini, kehadiran UUPA (Undang-Undang Perlindungan Adat) sejak tahun 1960 dinilai belum menjadi solusi meski secara konstitusi UUPA merupakan perwujudan serta amanat konstitusi untuk menggantikan hukum kolonial Agrarische Wet tahun 1870. Hal ini penting sebab Agrarische Wet meletakkan asas Domein Verklaring yakni pengabaian hak rakyat dengan cara pembuktian wilayah secara formal atas bidang-bidang tanah atau lahan yang dianggap dipunyai oleh negara. Keadaan ini menjadikan rakyat petani sulit mempertahankan hak miliknya yang mengakar pada hukum asli bangsa Indonesia (Indigeneos People Law).
Namun dalam implementasinya, hukum nasional agraria ini tidak memiliki rumusan pengertian hak ulayat secara jelas. Di dalam penjelasan Umum II hanya terdapat pengakuan adat semata sehingga pasal-pasal dalam UUPA hanyalah pasar tidur saja. Hal ini serupa yang disebut oleh Van Vollenhoven bahwa hak ulayat atau beschikkingstrecht disini berarti hak menguasai tanah dalam arti kekuasaan masyarakat tidak sampai pada kekuasaan menjual tanah melainkan hanya memperoleh hak pakai saja. Ketimpangan yang diperlihatkan Undang-Undang Kehutanan secara sepihak menunjuk 70% daratan Indonesia sebagai kawasan hutan, dan jika rakyat tidak bisa membuktikan haknya secara hitam putih (secara formal), maka kawasan itu dikukuhkan sebagai kawasan hutan. Dalam hal ini, Undang-Undang Kehutanan jelas bertentangan secara keseluruhan karena membatasi wewenang UUPA yang hanya berlaku di luar kawasan hutan. Dengan demikian halnya Undang-Undang Kehutanan yang nyatanya menghidupkan kembali asas Domein Verklaring yang sudah dicabut sejak berlakunya UUPA.
Selain itu, sampai saat ini banyak orang yang diuntungkan dengan lahirnya TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PA/PSDA). Berbagai aturan agraria yang mengikuti TAP seperti draf hukum, ketetapan, dan perintah presiden dalam implementasinya bertentangan dan mematikan semangat UUPA No. 5/1960 dan UUD 1945 Pasal 33 ayat 3. Secara rinci sedikitnya ada enam poin kerancuan dalam TAP MPR No. IX/2001, diantarannya yaitu:
Pertama, TAP ini mengemukakan konsep âsumber daya agrariaâ yang sama dengan konsep âsumber daya alam saat menyebutkan âyang meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnyaâ yang secara filosofis sumber daya alam dikenal dengan kekayaan nasional. Kedua, pembangunan agraria dalam tap ini diartikan dengan penataan ulang setelah penggunaan atas kepemilikan dan kekuasaan dalam jangka waktu. Ketiga, munculnya istilah Pengelolaan Sumber Daya Alam yang seharusnya berupa suatu penetapan (beschikking), direduksi menjadi hal yang sifatnya teknis âpengaturanâ (regeling).
Keempat, pengelolaan sumber daya alam dalam tap ini tidak disebutkan secara jelas. Kelima, TAP tersebut juga akan membuka peluang terjadinya pelanggaran HAM dan eksploitasi terhadap sumber-sumber agraria yang didukung oleh imperialiasme yaitu liberalisasi dalam segala lini. Keenam, dengan lahirnya TAP MPR No. IX/2001 tersebut mengundang segelintir pemodal untuk memastikan legalitas dalam menguasai dan mengeksploitasi kekayaan alam.
Jika UUPA 1960 benar-benar diimplementasikan, maka UUPA 1960 seharusnya secara hirarkis membawahi undang-undang sektoral lainnya seperti, Undang-Undang Kehutanan, Pertambangan, Penanaman Modal dan lainnya dengan tujuan meredam atau mengurangi konflik agraria. Sayangnya, kebijakan sektoralisme tersebut hanya bagian dari agenda ekonomi politik neo-liberalisme yang akan memperumit dan mempertajam konflik lintas kepentingan dan menempatkan rakyat sebagai korban.
Lalu bagaimana seharusnya reforma agraria sejati itu?
ï Dirumuskan/direncanakan dengan pelibatan penuh organisasi petani miskin dan bangsa Indonesia sendiri
ï Dijalankan berdasarkan kekuatan petani dan kemampuan bangsa Indonesia sendiri
ï Ditujukan bagi kemakmuran petani miskin dan rakyat/bangsa Indonesia
ï Mendorong tercapainya kedaulatan petani dan bangsa Indonesia sendiri baik kedaulatan politik, ekonomi, dan budaya
ï Diperlukan untuk meniadakan ketergantungan, penindasan, ketimpangan, dan ketidakadilan agraria
ï Merupakan penjabaran langsung dan tepat terhadap asas ekonomi kekeluargaan (âsosialisme Indonesiaâ) yang diamanahkan oleh pasal 33 UUD 1945
ï Merupakan strategi utama untuk menghancurkan relasi dan struktur sosial yang menindas (termasuk budaya atau relasi sosial yang feodalistik)
ï Reforma Agraria menjadi strategi utama dalam membangun kekuatan ekonomi petani dan bangsa Indonesia sendiri
ï Ditujukan bagi keberlangsungan dan kelestarian serta keserasian ekosistem Dijalankan secara konsisten, menyeluruh, dan integratif
ï Memandang bahwa kekayaan alam (agraria) merupakan kekayaan untuk membangun peradaban petani dan bangsa Indonesia
Sedangkan secara struktural reforma agrarian sejati bisa dilaksanakan jika pemerintah melaksanakan dengan segera program Pembaruan Agraria yang berlandaskan pada UUPA No. 5/1960. Kedua, menegaskan kembali UUPA sebagai satu-satunya payung hukum nasional agraria serta mencabut semua kebijakan perundang-undangan yang memiliki potensi salah tafsir atau kesewenang-wenangan kaum pemodal.