Ilmuwan Rekonstruksi Wajah Mumi yang Hidup 2.000 Tahun Lalu

Rekonstruksi digital itu menggambarkan pria berusia 25 tahun.

parabon nanolabs
Rekonstruksi wajah mumi Mesir 2000 tahun lalu.
Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, VIRGINIA -- Wajah tiga pria yang hidup di Mesir kuno lebih dari 2.000 tahun yang telah dihidupkan kembali melalui rekonstruksi digital. Rekonstruksi digital itu menggambarkan pria berusia 25 tahun, berdasarkan data DNA yang diambil dari sisa mumi mereka.

Baca Juga


Dilansir dari Live Science, Rabu (29/9), mumi-mumi tersebut berasal dari Abusir el-Meleq, sebuah kota Mesir kuno di dataran banjir di selatan Kairo. Mereka dikuburkan antara tahun 1380 SM hingga 425 M. Para ilmuwan di institut Max Planck untuk Ilmu Sejarah Manusia Tübingen, mengurutkan DNA mumi pada 2017. Itu adalah rekonstruksi pertama yang berhasil dari genom mumi Mesir kuno.

Sekarang, para peneliti di Parabon NanoLabs, sebuah perusahaan teknologi DNA di Reston, Virginia, telah menggunakan data genetik tersebut untuk membuat model 3D wajah mumi melalui proses yang disebut forensik DNA fenotip. Teknik ini menggunakan analisis genetik untuk memprediksi bentuk fitur wajah dan aspek lain dari penampilan fisik seseorang.

“Ini adalah pertama kalinya fenotip DNA komprehensif dilakukan pada DNA manusia seusia ini,” kata perwakilan Parabon dalam sebuah pernyataan.

Parabon mengungkapkan wajah mumi pada 15 September di Simposium Internasional ke-32 tentang identifikasi Manusia di Orlando, Florida.

Rekonstruksi wajah mumi Mesir 2000 tahun lalu. - (parabon nanolabs)
 

Para ilmuwan menggunakan metode fenotip yang disebut Snapshot untuk memprediksi keturunan, warna kulit dan fitur wajah pria. Mereka menemukan pria tersebut memiliki kulit cokelat muda dengan mata dan rambut gelap. Secara keseluruhan, susunan genetik mereka lebih dekat dengan individu modern di Mediterania atau Timur Tengah dibandingkan orang Mesir modern.

Para penelitian kemudian membuat jerat 3D yang menguraikan wajah mumi dan menghitung peta panas untuk menyoroti perbedaan antar tiga individu dan menyempurnakan detail setiap wajah. Artist forensik Parabon kemudian menggabungkan hasil ini dengan prediksi Snapshot tentang warna kulit, mata dan rambut.

Direktur Bioinformatika Parabon Ellen Greytak mengatakan bekerja dengan DNA manusia purba dapat menjadi tantangan karena dua alasan. DNA seringkali sangat terdegradasi dan biasanya bercampur dengan DNA bakteri.

“Di antara dua faktor itu, jumlah DNA manusia yang tersedia untuk diurutkan bisa sangat kecil,” kata Greytak kepada Livescience melalui email.

Namun, karena sebagian besar DNA dibagi di antara semua manusia, para ilmuwan tidak memerlukan seluruh genom untuk mendapatkan gambaran fisik seseorang.

Sebaliknya, mereka hanya perlu menganalisis titik spesifik tertentu dalam genom yang berbeda antar manusia, yang dikenal sebagai polimorfisme nukleotida tunggal (SNP). Banyak dari kode SNP ini untuk perbedaan fisik antar individu.

Namun, terkadang DNA purba tidak menyediakan SNP yang cukup untuk menunjukkan dengan tepat suatu sifat tertentu. Dalam kasus tersebut, para ilmuwan dapat menyimpulkan data genetik yang tidak ada dari nilai-nilai SNP lain di dekatnya.

“Statistik yang dihitung dari ribuan genom mengungkapkan seberapa dekat keterkaitan setiap SNP dengan tetangga yang tidak ada,” kata seorang ilmuwan bioinformatika Parabon, Janet Cady kepada Livescience melalui email.

Dari sana, para peneliti dapat membuat prediksi statistik tentang apa SNP yang hilang itu. Proses yang digunakan pada mumi kuno ini juga dapat membantu para ilmuwan membuat ulang wajah untuk mengidentifikasi sisa-sisa modern.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler