Suku Moi Trauma, 'Perusahaan Sawit Kasih Kami Miskin'

Mereka (Suku Moi) tak lagi bisa memenuhi kebutuhan hidup dari hutan.

ANTARA/Olha Mulalinda
Warga berdiri di lokasi perumahan bantuan warga asli suku Moi di Kampung Klatifi, Kota Sorong, Papua Barat, Jumat (18/6/21). Pemerintah Kota Sorong membangun 28 unit perumahan tipe 45 bagi warga asli suku Moi yang selama ini hidup termarginalkan di wilayah setempat.
Rep: Febryan. A Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, Sebuah perusahaan berjanji membuatkan rumah dan memberikan mobil jika Marga Wulimpa menyerahkan ribuan hektare hutan adatnya untuk perkebunan sawit. Setelah enam tahun berselang, janji-janji itu tak kunjung berwujud meski hutan telah dibabat habis.


Demikian pengalaman Marga Wulimpa, salah satu marga dalam suku Moi, sebagaimana disampaikan oleh Mateus Yempolo (69 tahun). Mateus mengetahui hal itu lantaran istrinya bermarga Wulimpa. Mateus merupakan Ketua Adat Kampung Maladofok, Distrik Sayosa, Kabupaten Sorong, Papua Barat.

Lantaran sudah melihat bagaimana janji palsu perusahaan sawit, Mateus tegas menolak ketika sebuah perusahaan meminta hutan adat Marga Yempolo. Apalagi janji yang disampaikan serupa.

"Bapak, ini kelapa sawit bagus. Kalau sudah terima masuk, kami akan membangunkan rumah tembok langsung, kamar mandinya di dalam, dan mobil juga," kata Mateus menirukan ucapan pihak perusahaan sawit kepadanya, Selasa (28/9). Terang saja, Mateus menolak.

Marga Gisim di Distrik Klamono, Kabupaten Sorong, juga bernasib apes setelah menyerahkan hutan adatnya kepada sebuah perusahaan sawit. Setiap bulan, marga ini mendapatkan jatah bagi hasil kebun plasma sebesar Rp 60 juta.

"Kalau dibagi rata kepada setiap anggota marga, itu hanya dapat Rp 700 ribu," kata Salmon Malagilik (58 tahun) di kediamannya di Distrik Klamono, Selasa (28/9). Salmon mengetahui, hal ini, karena ibunya bermarga Gisim dan kerap membantu marga Gisim berurusan dengan pihak perusahaan.

Salmon menyebut, pembagian Rp 700 ribu per orang itu terlalu kecil dan hanyalah "uang sayur" semata. Sebab, uang itu hanya bisa digunakan untuk sebagian keperluan dasar saja. Tak akan cukup jika turut digunakan untuk biaya pendidikan anak. Di sisi lain, mereka tak lagi bisa memenuhi kebutuhan hidup dari hutan.

Setelah melihat kenyataan itu, Salmon "trauma" berurusan dengan perusahaan sawit. Dai pun tegas menolak tawaran korporasi sawit yang hendak mengambil hutan adat Marga Malagilik.

"Kami marga Malagilik tidak setuju dengan perkebunan sawit. Perusahaan kelapa sawit itu, dia bawa kekayaan kami, (tapi) dia kasih kami miskin," imbuh Oktovina Malagilik (37), anak dari Salmon.

Bahkan, anak Oktovina yang baru berusia tujuh tahun juga tak mau hutan diubah menjadi kebun sawit. Suatu waktu, sang anak yang bernama Agustinus itu bertanya, kenapa banyak orang datang ke rumahnya. Oktovina lantas menjelaskan bahwa orang itu datang terkait pelepasan hutan adat menjadi perkebunan sawit.

"Aduh mama saya tidak mau kelapa sawit karena saya lihat (di perkebunan sawit) itu tidak ada burung. Kalau musim buah-buahan, kita tidak makan langsat, tidak makan cempedak," kata Oktovina menirukan ucapan putraya itu.

 

Cukup dari hutan

Setiap pagi, Salmon memasuki area hutan adatnya untuk bertani, berburu, ataupun menebang kayu. Sore harinya, dia membawa pulang hasil dari hutan adat yang disebut seluas 6.600 hektare itu.

Menurut Salmon, hutan bisa memberikan hasil yang lebih banyak dibandingkan Rp 700 ribu yang didapat dari perusahaan sawit. Salah satunya dengan cara menebang Pohon Merbau alias Kayu Besi yang bisa bernilai Rp 3 hingga 6 juta per pohon.

"Uangnya bisa untuk beli makan dan biaya anak sekolah," kata Salmon. Apalagi, imbuh dia, Kayu Besi terdapat di hampir semua areal hutan adat marga Malagilik.

Potensi pemasukan juga datang dari pohon Matoa. Jika ditebang, per pohon bisa bernilai Rp 1 juta rupiah. Buah dari pohon Matoa itu bisa pula dijual Rp 10 ribu per plastik. "Satu pohon bisa hasilkan tiga karung buah Matoa. Satu karung itu 50 plastik," kata Oktovina.

Hutan, lanjut Salmon, juga menyediakan rotan, yang bisa digunakan untuk membangun rumah. Hutan turut menyediakan mereka makanan dari pohon sagu, babi, dan rusa. Dua hewan tersebut juga bisa dijual ke kota.

Dengan segala hasil yang bisa diberikan hutan, tak heran Marga Malagilik menolak tawaran korporasi sawit. "Kami masyarakat ingin kemajuan, tapi tidak merusak alam," kata Oktovina, yang ingin hutan adatnya jadi objek wisata gua kelelawar.

 

Mengembalikan hutan adat

Bupati Sorong Johny Kamuru diketahui telah mencabut izin perkebunan sawit empat perusahaan. Luasnya, 105 ribu hektare dengan tutupan hutan seluas 56 ribu hektare. Namun, tiga perusahaan menggugat keputusan itu ke pengadilan.

Johny optimis menang di pengadilan. Ia selanjutnya akan mengembalikan area bekas konsesi itu kepada masyarakat adat. "Kita kembalikan ke masyarakat adat sehingga mereka bisa kelola. Artinya mereka bisa dapat untung, tapi hutan mereka tidak punah," kata Jhony kepada wartawan, Rabu (29/9).

Menurut Johny, mengembalikan hutan kepada masyarakat adat adalah langkah yang tepat. Sebab, dia menilai, perusahaan sawit selama ini mengeruk keuntungan besar dengan mengorbankan masyarakat adat. "Jadi dia cari untuk setinggi-tinggi langit, sementara itu masyarakat serendah bumi," ungkapnya.

Setelah hutan tersebut dikembalikan ke masyarakat, lanjut Johny, pihaknya akan melakukan pemetaan tanah adat. Di sisi lain, dia juga meminta setiap marga untuk mendukung proses pemetaan ini sehingga tercipta kepastian hukum terkait tanah ulayat masing-masing.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler