Melirik Manfaat Menjanjikan Molnupiravir

Studi tunjukkan efek molnupiravir konsisten pada berbagai varian Covid-19.

ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Molnupiravir berpotensi jadi obat antivirus oral pertama untuk pengobatan pasien Covid-19.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Muhyiddin

Baca Juga


Upaya menemukan pengobatan bagi Covid-19 terus dikembangkan. Terbaru, muncul molnupiravir merek dari obat oral yang menunjukkan hasil positif bagi pengobatan virus corona.

Juru bicara vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan dr Siti Nadia Tarmizi menanggapi positif obat Covid-19 buatan perusahaan asal Amerika Serikat (AS), molnupiravir. Menurut dia, khasiat molnupiravir cukup menjanjikan.

Perusahaan farmasi AS Merck mengembangkan obat Covid-19 yang diklaim dapat menurunkan risiko keparahan Covid-19. Merck baru saja mempublikasikan obat Covid-19 eksperimental bermerek molnupiravir  menunjukkan hasil positif melawan virus corona jenis baru. 

"Kalau info awal dari Merck iya (cukup menjanjikan). Tapi kita tunggu hasil publikasi ilmiahnya juga ya," kata dr Nadia kepada Republika, Senin (4/10).

Walau demikian, dokter Nadia menyatakan pemerintah belum melakukan pembicaraan lebih dalam mengenai kemungkinan membeli obat oral Covid-19 merek molnupiravir. Pihaknya masih menunggu kepastian hasil uji klinis molnupiravir secara komprehensif. "Kita tunggu selesainya hasil uji klinisnya," ujar dr Nadia

Dokter Nadia terus mengimbau masyarakat mematuhi protokol kesehatan (prokes) guna mencegah penularan Covid-19 walau di dunia sudah ada vaksin dan obat Covid-19. "Tetap memakai masker, rajin mencuci tangan dan menjaga jarak," imbau dokter Nadia.

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, meminta masyarakat tak bersuka cita berlebihan dalam merespons molnupiravir. Ia menekankan obat bukanlah satu-satunya solusi menghadapi pandemi Covid-19.

"Sampai saat ini jangankan obat, vaksin saja tidak bisa selesaikan pandemi. Obat itu kuratif di bagian hilir (perawatan). Perannya obat ini tetap ada, tapi jangan euforia," kata Dicky kepada Republika, Senin (4/10).

Dicky mengimbau semua pihak tetap menjalankan 3T dan 5M walau sudah ada vaksin dan obat Covid-19. Langkah ini diperlukan guna menjaga rendahnya kasus Covid-19 di Tanah Air. "Mau ada obat ini, mau ada vaksin, 3T 5M tetap terus karena kalau tidak maka banyak kasus lagi walau ada obatnya," ucap Dicky.

Dicky juga mewanti-wanti masyarakat agar tak menurunkan kewaspadaan pencegahan Covid-19. Sebab mereka yang pernah terjangkit Covid-19 berpeluang mengalami gangguan kesehatan secara kontinu bahkan pascasembuh dari Covid-19.

"Harus dipahami infeksi Covid-19 ada yang sepertiganya dari yang pulih berpotensi alami long Covid. 70 persen dari sepertiga itu alami setidaknya satu organ vital rusak antara jantung, paru, ginjal, hati. Upaya cegah orang terinfeksi itu tetap yang utama," ucap Dicky. 

Munculnya molnupiravir juga mendapat perhatian Guru Besar FKUI Tjandra Yoga Aditama. Ia menyebut molnupiravir ialah obat antiviral yang dalam hasil penelitian interimnya menunjukkan penurunan sebesar 50 persen angka perawatan di rumah sakit serta juga mencegah kematian akibat Covid-19, pada pasien derajat ringan dan sedang. 

Datanya menunjukkan 7,3 persen pasien (28 orang) yang mendapat molnupiravir dirawat di rumah sakit sampai hari ke-29 penelitian.  Sementara itu, pada mereka yang tidak mendapat molnupiravir atau dapat plasebo saja ada 53 orang (14,1 persen) yang harus masuk RS. Selain data masuk RS, pada mereka yang tidak dapat molnupiravir ada delapan orang yang meninggal. 

"Dari yang mendapat molnupiravir memang tidak ada yang meninggal sampai hari ke-29 penelitian ini dilakukan," kata Prof Tjandra dalam keterangan pers.

Prof Tjandra mengamati sampel penelitian molnupiravir Covid-19 mereka yang bergejala ringan dan sedang, dengan onset gejala paling lama lima hari. Hasil penelitian ini juga menunjukkan data pada 40 persen sampelnya bahwa efikasi molnupiravir bisa konsisten pada berbagai varian yang ditemukan, yaitu Gamma, Delta, dan Mu. 

"Secara umum efek samping adalah seimbang antara yang dapat molnupiravir dan plasebo, yaitu 35 persen dan 40 persen. Sampel penelitian ini mempunyai setidaknya satu faktor risiko, atau yang biasa kita kenal dengan komorbid. Yang paling sering adalah obesitas, diabetes mellitus, penyakit jantung dan juga usia tua (di atas 60 tahun)," ujar mantan Direktur WHO Asia Tenggara itu.


 

Prof Tjandra mendapati informasi hasil interim uji klinik fase tiga Molnupiravir akan jadi dasar izin edar dalam bentuk Emergency Use of Authorization (EUA) ke BPOM Amerika Serikat (US-FDA). Namun ia menyampaikan pada April 2021 uji klinik obat Molnupiravir sempat dihentikan pada pasien yang dirawat di rumah sakit karena tidak menunjukkan hasil yang baik.

"Waktu bulan April itu diputuskan penelitian diteruskan hanya pada mereka yang belum masuk rumah sakit, yang hasilnya baru diumumkan 1 Oktober ini," ucap mantan Dirjen P2P & Ka Balitbangkes itu.

Di sisi lain, Prof Tjandra mengungkapkan ada banyak pembicaraan tentang obat Covid-19 sejak tahun lalu. Ia mengamati ada berbagai obat yang awalnya dianggap menjanjikan, tetapi sesudah dilakukan penelitian mendalam, maka obat-obat itu ternyata tidak terbukti memberi manfaat yang bermakna.

"Memang sudah banyak juga dilakukan penelitian untuk mendapatkan obat anti viral yang tidak perlu disuntik. Dalam bentuk oral saja," tutur Prof Tjandra.

Hasil studi laboratorium Merck & Co menunjukkan bahwa obat antivirus Covid-19 Molnupiravir mengurangi sekitar 50 persen risiko rawat inap atau kematian bagi pasien yang berisiko penyakit parah. Hal ini berdasarkan hasil uji klinis sementara yang diumumkan pada Jumat (1/10).

Perusahaan farmasi asal Merck bersama mitranya, Ridgeback Biotherapeutics, berencana untuk mencari otorisasi penggunaan darurat AS untuk pil tersebut sesegera mungkin. Serta untuk mengajukan permohonan kepada Badan Pengatur di seluruh dunia.

Karena hasilnya positif, uji coba fase tiga akhirnya dihentikan lebih awal atas rekomendasi Badan Pengawas. “Ini akan mengubah dialog seputar cara mengelola Covid-19,” ujar CEO Merck, Robert Davis kepada Reuters.

Jika diizinkan oleh badan pengawas, Molnupiravir akan menjadi obat antivirus oral pertama untuk Covid-19. Berita tersebut membuat saham Merck naik hampir delapan persen dalam perdagangan pra-pasar di New York.

Analisis sementara yang direncanakan terhadap 775 pasien dalam penelitian Merck menemukan bahwa 7,3 persen dari mereka yang diberi molnupiravir dirawat di rumah sakit atau meninggal 29 hari setelah pengobatan, dibandingkan dengan 14,1 persen pasien plasebo. Tidak ada kematian pada kelompok Molnupiravir, tetapi ada delapan kematian pasien plasebo.

“Perawatan antivirus yang dapat dilakukan di rumah untuk mencegah orang dengan Covid-19 keluar dari rumah sakit sangat dibutuhkan,” kata CEO Ridgeback, Wendy Holman dalam sebuah pernyataan.

Para ilmuwan menyambut baik potensi pengobatan baru untuk membantu mencegah penyakit serius dari virus, yang telah menewaskan hampir 5 juta orang di seluruh dunia. Dalam uji coba, yang melibatkan pasien di seluruh dunia, Molnupiravir diminum setiap 12 jam selama lima hari.

“Ketersediaan antivirus oral yang dapat ditoleransi dengan baik dan efektif akan sangat berguna dalam melengkapi vaksinasi sebagai sarana untuk mengurangi proporsi pasien yang membutuhkan perawatan di rumah sakit,” jelas Penny Ward, profesor tamu dalam kedokteran farmasi di King's College London.

 

Studi ini mendaftarkan pasien dengan Covid-19 ringan hingga sedang yang dikonfirmasi laboratorium, yang memiliki gejala tidak lebih dari lima hari. Semua pasien memiliki setidaknya satu faktor risiko yang terkait dengan hasil penyakit yang buruk, seperti obesitas atau usia yang lebih tua. 

Daftar obat yang diberikan untuk pasien Covid-19. - (Republika)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler