Serbamahal di Papua, Mitos atau Fakta?

Penilaian orang tentang Papua tak sepenuhnya benar, pun tak seluruhnya salah.

Republika/Thoudy Badai
Pengunjung memilah pernak pernik khas Papua di Pasar Central Hamadi, Kota Jayapura, Papua, Kamis (14/10). Menjelang penutupan PON XX Papua pada Jumat 15 Oktober 2021, Pasar Central Hamadi mulai dipadati sejumlah pengunjung dan kontingen PON untuk membeli oleh-oleh khas Papua seperti noken, gelang bambu, hiasan dinding kulit kayu, koteka, dan lainnya yang dibandrol mulai dari harga Rp 5 ribu hingga jutaan rupiah, tergantung jenis dan ukuran.
Red: Endro Yuwanto

Oleh : Muhammad Ikhwanuddin, jurnalis olahraga Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, Bicara soal Papua, mungkin yang biasa tebersit di pikiran masyarakat adalah keindahan dan kekayaan sumber daya alamnya. Buku pelajaran, film-film dokumenter, dan berbagai cerita menyebut wilayah paling timur di Indonesia itu menyimpan harta karun yang dipercaya tak akan habis hingga berpuluh-puluh tahun kemudian.

Namun entah dari mana asalnya, banyak anggapan Papua adalah daerah yang mengerikan dan tak layak huni. Kesan negatif pun menjalar ke bidang ekonomi saat orang berpendapat hidup di Papua memerlukan biaya ekstra tinggi.

Menyoal biaya hidup, sebenarnya penilaian orang tentang Papua tak sepenuhnya benar, pun tak seluruhnya salah. Saya kebetulan sempat menyaksikan dengan singkat bagaimana roda perekonomian Bumi Cenderawasih itu berputar selama meliput Pekan Olahraga Nasional (PON) XX di Papua.

Meski sudah mempersiapkan segala kebutuhan liputan, tetap saja ada hal-hal yang perlu saya penuhi selama berada di Papua. Sepatu saya, misalnya, tiba-tiba menganga di bagian tumit sehingga harus segera diperbaiki.  

Selepas liputan, saya menyempatkan diri melipir ke sebuah supermarket besar di pusat Kota Jayapura untuk membeli lem. Saat mencari barang yang saya inginkan, tebersit di pikiran untuk sembari berkeliling di dalam supermarket dan melihat-lihat barang apa saja yang mereka jual. Saya penasaran apakah yang dijual di Jayapura berbeda dengan Jakarta.

Tidak ada perbedaan signifikan ketika berbelanja di supermarket Jayapura dengan Jakarta. Perusahaan ritel nampaknya sudah menerapkan standar di setiap cabang mereka, sejauh apapun lokasinya.

Akan tetapi, perbedaan paling mencolok terdapat pada harga kebutuhan pokok. Beras putih ukuran 5 kg rata-rata seharga Rp 50 ribu untuk merk yang paling murah. Sedangkan di supermarket Jayapura, beras dengan ukuran yang sama dihargai Rp 65 ribu.

Saya lalu memerhatikan harga telur ayam negeri. Di Jakarta, saat ini berada di angka Rp 18 ribu-Rp20 ribu per kilo dengan isi 16-17 butir. Di supermarket Jayapura, telur dijual dengan harga Rp 22 ribu dengan isi 10 butir.

Tak puas memerhatikan harga di supermarket, saya berkesempatan mengunjungi Pasar Hamadi yang sama-sama berada di Kota Jayapura. Ternyata, harga yang ditawarkan pun kurang lebih mirip seperti di supermarket.

Harga yang cukup signifikan terdapat pada harga gas elpiji. Untuk ukuran 12kg, harganya mencapai Rp 240 ribu, sedangkan di Jakarta ada di kisaran Rp 165 ribu ke atas.

Sekilas memang terlihat lebih mahal. Tapi jika ingin menghemat pengeluaran, banyak-banyaklah membeli ikan di Jayapura. Sebab, harga yang ditawarkan akan jauh lebih murah dibandingkan di ibu kota.

Ikan tuna misalnya, di Jakarta saya pernah membeli 250 gram tuna beku dengan harga Rp 25 ribu. Tapi di Jayapura, kita bisa membeli tuna utuh dengan bobot 1 kg dengan harga Rp 20 ribu.

Pembeli pun memiliki pilihan yang lebih banyak jika ingin makan makanan laut. Selain tuna, kita bisa membeli ikan yang jarang ditemui di Jakarta seperti pari, cakalang, puri, dan layur.

Itulah harga bahan-bahan mentah. Bagaimana dengan yang sudah matang? Saya juga sempat membandingkannya. Di aspek inilah, Anda harus siap-siap merogoh kocek lebih dalam.

Rasa lapar menghampiri saya selepas Shalat Isya. Sadar berada di kota besar, saya mencoba berselancar di aplikasi ojek daring untuk mencari-cari makanan yang bisa disantap sembari meneruskan pekerjaan. Namun, hasilnya ternyata nihil.

Saya akhirnya keluar dan berjalan kaki di sekitar penginapan untuk mencari kudapan. Mata saya tertuju pada sebuah tenda warung makan di pinggir jalan raya bertuliskan 'Lalapan Ayam dan Lalapan Ikan'.

Daftar menu dan harga terpampang jelas pada sebuah kertas laminasi ukuran A4. "Lalapan ikan lele Rp 30 ribu, lalapan ayam Rp 30 ribu, lalapan mujair Rp 60 ribu. Lumayan mahal juga, ya," gumam saya.

"Sudah sama nasi?" tanya saya kepada si penjual. "Belum," ujarnya.

Akhirnya saya memilih lele karena penasaran saja, berharap ada yang berbeda tetapi sama saja. Tidak apa-apa, kata saya dalam hati, yang penting perut terisi.


BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler