Pesan Moderasi dari Bumi Cenderawasih
Mayoritas orang Papua cenderung menyampaikan narasi positif tentang PON.
Oleh : Muhammad Ikhwanuddin, jurnalis olahraga Republika.
REPUBLIKA.CO.ID, Sejak ditetapkan sebagai ibu kota Pulau Papua oleh kolonial Belanda pada 1910 silam, Jayapura terus bertumbuh. Tak hanya menyoal kependudukan, tapi juga ekonomi dan kebudayaan.
Jayapura yang dalam bahasa Sansekerta berarti 'Kota Kemenangan' adalah jantung Papua. Hampir seluruh pusat peradaban berada di kota yang terletak di ujung timur laut Negara Kesatuan Republik Indonesi (NKRI) ini. Mulai dari kantor gubernur, episentrum moda transportasi, hingga lokasi utama Pekan Olahraga Nasional (PON) XX 2021 yang kini sedang digelar.
Panitia PON benar-benar mengambil risiko besar dengan menggelar hajatan olahraga terbesar senusantara itu di wilayah paling timur. Ini adalah pertama kalinya PON berada di pulau kaya emas tersebut.
Permasalahannya, masih ada stereotipe Papua yang dianggap daerah tertinggal, kolot, miskin, dan segala anggapan buruk lain. Saat Papua resmi ditetapkan sebagai tuan rumah PON pada awal 2014, Susilo Bambang Yudhoyono yang masih menjabat presiden RI mendapat berbagai kritik soal keamanan dan fasilitas.
Meski demikian, selama tujuh tahun panitia PON dan Pemerintah Provinsi Papua merombak berbagai sektor agar lebih menarik dan mendapat pengakuan publik bahwa mereka mampu menggelar perhelatan akbar. Menurut data resmi pemerintah, PON XX Papua 2021 menghabiskan anggaran lebih dari Rp 10 triliun sekaligus menjadi yang termahal dibandingkan edisi-edisi sebelumnya.
Pembangunan stadion Papua Bangkit--yang belakangan namanya diganti menjadi Stadion Lukas Enembe--saja, meraup hampir Rp 4 triliun. Itu bahkan melebihi total biaya PON XIX 2016 di Jawa Barat. Wow!
Pemerintah sudah jor-joran mengelola dan memberdayakan uang rakyat demi PON. Pertanyaannya, apakah rakyat Papua juga berpikir hal serupa?
Di sela-sela liputan PON, saya bercengkerama santai dengan warga lokal dan bertanya tentang pendapat mereka soal PON. Mayoritas orang yang saya tanya cenderung menyampaikan narasi positif tentang PON karena suasana Jayapura menjadi lebih hidup dari biasanya.
Kepala Pengelola Bukit Jokowi di Jayapura, Erik Korwa, mengaku omzet penjualan kelapa di kiosnya sudah kembali seperti sebelum masa pandemi Covid-19. Kemudian penjual ikan di Pusat Pelelangan Ikan (PPI) Hamadi Jayapura, Daeng, mengatakan lapaknya kerap dikunjungi kontingen dari berbagai daerah untuk berbelanja.
Saya pun mengorek sedikit pendapat warga tentang suasana Jayapura yang mendadak ramai selama PON. Apakah mereka gusar dengan kehadiran orang-orang asing di Papua?
Seorang pedagang makanan kecil di kawasan Istora Papua Bangkit, Irma Honce, mengaku dirinya justru senang melihat orang-orang dari 34 provinsi berkumpul di Papua. Selama sama-sama saling menghargai sesama manusia, ujarnya, warga Papua akan terbuka dengan siapa saja.
Per 2021, Pemerintah Kota Jayapura mencatat sebanyak 56 persen warga beragama Kristen dan 43 persen beragama Islam. Tak sulit mencari masjid di Jayapura. Begitu juga soal makanan, karena pilihan kuliner dari seluruh Indonesia sudah tersedia.
Bicara kuliner, di situlah keterbukaan warga Papua juga terlihat. Warung-warung makan yang menyediakan babi sebagai menu pun ditulis dengan kode 'B2'. Pertanyaan muncul di kepala saya saat melihat plang warung makan 'Sedia B2' itu, kenapa mereka melakukannya?
"Untuk menghormati yang Muslim. Sejak pendatang dari luar tiba di sini, kami sudah melakukan itu," kata Irma.
Secara tidak langsung Irma menunjukkan sikap moderat seorang warga asli setempat terhadap perantau yang berbeda keyakinan.
Seketika saya membayangkan, jika ada jutaan orang yang berpikiran seperti Irma, bukan tak mungkin prinsip habluminannas dalam Muslim bisa terpelihara di seluruh nusantara. Dari PON Papua, selain mendapat berita, saya merasakan pula pesan moderasi.