Erdogan tak Jadi Usir 10 Duta Besar, Ini Alasannya
Erdogan tegaskan pengadilan Turki tak menerima perintah dari siapapun.
REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menarik kembali perintahnya mengusir 10 duta besar (dubes) negara asing. Sebelumnya Erdogan menyatakan, para dubes itu sebagai persona non grata karena mendukung pembebasan Osman Kavala.
Pernyataan baru Erdogan dilontarkan setelah Amerika Serikat dan beberapa negara terkait lainnya mengeluarkan pernyataan. Negara-negara tersebut mengatakan, mereka menghormati konvensi PBB yang mengharuskan diplomat untuk tidak ikut campur dalam urusan dalam negeri negara tuan rumah.
Erdogan mengatakan, pernyataan negara-negara tersebut menunjukkan, mereka telah mengambil langkah mundur dari fitnah terhadap Turki. "Mereka akan lebih berhati-hati sekarang," ujar Erdogan seperti dikutip laman Aljazirah, Selasa (26/10).
Pekan lalu, perwakilan atau dubes dari Kanada, Denmark, Prancis, Jerman, Belanda, Norwegia, Swedia, Finlandia, Selandia Baru, dan AS menyerukan resolusi yang adil dan cepat untuk kasus Kavala. Sepuluh dubes juga menuntut pembebasan Kavala segera.
Kesepuluh dubes tersebut mewakili sekutu NATO, mitra dagang, dan anggota Uni Eropa. Ankara adalah negara kandidat UE, namun pembicaraan keanggotaan praktis telah dibekukan selama bertahun-tahun.
"Pengadilan Turki tidak menerima perintah dari siapapun, dan tidak di bawah komando siapa pun," kata Erdogan dalam komentar yang disiarkan televisi.
"Niat kami sama sekali bukan untuk menciptakan krisis tetapi untuk melindungi hukum, kehormatan, kepentingan, dan hak berdaulat kami," ujarnya menambahkan.
Direktur komunikasi Turki Fahrettin Altun kemudian mengingatkan bahwa Ankara bakal menindak lebih lanjut dari pernyataan para dubes tersebut. "Kementerian luar negeri kami telah memberikan tanggapan yang diperlukan untuk misi asing ini dan memperingatkan mereka tentang perilaku mereka yang tidak dapat diterima," kata Altun.
"Pemerintah kami tidak akan menghindar dari langkah lebih lanjut untuk menunjukkan bahwa kami tidak akan pernah mengkompromikan kedaulatan nasional kami," katanya di Twitter.
Reaksi Kedutaan
Sebelumnya, Erdogan menyambut pernyataan oleh beberapa kedutaan Barat. Mereka dibuat hampir bersamaan di Twitter ketika Erdogan memasuki rapat kabinet untuk membahas kemungkinan pengusiran para diplomat. "Amerika Serikat mencatat bahwa mereka mempertahankan kepatuhan terhadap Pasal 41 Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik," kata Kedutaan Besar AS di Twitter.
Kanada, Belanda, dan Selandia Baru masing-masing mengirim pesan serupa. Sementara Norwegia, Swedia, Denmark, dan Finlandia men-tweet ulang pesan AS. Tidak ada pernyataan yang jelas dari kedutaan Jerman atau Prancis.
Seorang juru bicara Kanselir Jerman Angela Merkel mengatakan kepada wartawan di Berlin, "Kami memperhatikan pernyataan Presiden Turki dengan prihatin dan juga dengan ketidakpahaman."
Mantan diplomat dan ketua Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Luar Negeri yang berbasis di Istanbul, Sinan Ulgen mengatakan, bahwa kemenlu kemungkinan berusaha mencari jalan keluar dari krisis.
Menurut Ulgen, para diplomat berkomentar tentang peradilan Turki, namun masalahnya bukan hanya tentang kasus Kavala, namun tentang penolakan Ankara untuk menerapkan keputusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR).
Pada Desember 2019, ECHR melayangkan kecurigaan yang masuk akal bahwa Turki melakukan pelanggaran dan memutuskan penahanan Kavala dimaksudnkan untuk membungkamnya.
Kavala dipenjara karena diduga mendanai protes nasional pada 2013 dan keterlibatan dalam kudeta yang gagal pada tahun 2016. Pengadilannya berlanjut tetapi dia telah membantah tuduhan tersebut.
Kelompok-kelompok hak asasi mengatakan kasusnya adalah simbol dari tindakan keras terhadap perbedaan pendapat di bawah Erdogan. Pada Jumat pekan lalu Kavala mengatakan bahwa dia tidak akan lagi menghadiri persidangannya, karena sidang yang adil tidak mungkin dilakukan setelah komentar baru-baru ini oleh presiden.