Pengamat: PT Buat Presiden Jadi 'Petugas Parpol'
Pengamat menilai presidential threshold membuat presiden seolah disetir Parpol.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Senior Populi Center, Usep S Ahyar, mengkritisi pemberlakuan Presidential Threshold (PT) sebesar 20 persen. Ia menilai aturan itu membuat Presiden terpilih hasil Pilpres seolah bisa disetir parpol pendukungnya.
Usep menilai pemberlakuan PT sebenarnya tak memperkuat sistem Presidential secara keseluruhan. Menurutnya, Presiden hanya terlihat kuat di atas panggung berkat dukungan parpol di parlemen.
"Kehadiran Presidential Threshold tak perkuat sistem presidential," kata Usep kepada Republika, Rabu (3/11).
Usep menyayangkan pemberlakuan PT yang begitu tinggi membuat Capres mau tak mau bergantung pada parpol. Sebab bila tidak, sang Capres bahkan tak akan diusung di Pilpres. Bahkan setelah Capres terpilih menurut Usep masih ada politik balas budi.
"Parpol terus campur tangan ke Presiden. Makanya ada istilah Presiden itu petugas partai padahal sistemnya Presidential," ujar Usep.
Usep menganalisa fenomena ini masih akan berlangsung usai Pilpres 2024 karena pemberlakuan PT tak kunjung dihapus atau diturunkan. Ia menduga kekuasaan Presiden bisa melemah bila dihadapkan kepentingan parpol pengusungnya.
"Mungkin Presiden kuat didukung dan dijaga parpol selama sesuai dengan kepentingan parpol, tapi parlemen harus ikut campur terus karena dia dicalonkan parpol," ucap Usep.
Sebelumnya, Ketua DPD AA La Nyalla Mahmud Mattalitti menilai, ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen turut menjadi penyebab maraknya konflik horizontal. Hal itu juga menyebabkan polarisasi di masyarakat.
"Aturan ambang batas membuat pasangan calon yang dihasilkan terbatas. Dari dua kali pemilihan presiden, hanya menghasilkan dua pasang calon. Sehingga dampaknya terjadi polarisasi masyarakat yang cukup tajam,” ujar La Nyalla lewat keterangan tertulisnya, Ahad (31/10).