Alih Fungsi Hutan Lindung Diduga Penyebab Banjir Kota Batu
Profauna: 90 persen hutan lindung sudah menjadi lahan pertanian
REPUBLIKA.CO.ID, BATU -- Banjir bandang yang menerjang sejumlah wilayah Kota Batu pada Kamis (4/11) sore diduga diakibatkan adanya alih fungsi lahan di hutan lindung. Dugaan ini berdasarkan temuan lembaga Protection of Forest & Fauna (ProFauna) Indonesia.
Ketua ProFauna Indonesia, Rosek Nursahid mengatakan, dia bersama tim ProFauna telah menyusuri alur terjadinya banjir termasuk mencari titik-titik longsor. Kegiatan ini berlangsung hingga melewati Pusung Lading yang berada di lereng Gunung Arjuno. "Jadi kesimpulan sementara dari ProFauna memang ada beberapa faktor penyebab kenapa terjadi banjir bandang," kata Rosek kepada Republika, Sabtu (6/11).
Setidaknya ada dua faktor penyebab di samping karena curah hujan tinggi. Pertama, banjir bandang diduga diakibatkan lahan bekas kebakaran hutan di lereng Arjuno. Kebakaran yang terjadi pada 2019 ini menyebabkan banyak pohon mati dan tumbang sehingga membentuk bendungan alami. Kondisi ini membuat proses aliran air terhambat lalu jebol saat tidak bisa menahan luapan air.
Kedua, banjir bandang diakibatkan oleh alih fungsi atau penanaman sayur di hutan lindung wilayah lereng Gunung Arjuno. Hal tersebut diungkapkan karena ProFauna sempat menyusuri sungai di Pusung Lading dimana ini termasuk sungai mati. Artinya, sungai ini biasanya tidak pernah terisi air kecuali beberapa waktu lalu.
Ketika ProFauna menyusuri sungai, tim menemukan beberapa titik longsor. "Kemudian kita cek ke atasnya. Tim saya naik ke atas. Ternyata di atas ada bukaan tanaman sayur," ucap Rosek.
Rosek tidak mengetahui pasti luasan hutan lindung yang dimanfaatkan menjadi lahan pertanian. Namun dia memperkirakan 90 persen luas hutan lindung sudah menjadi lahan pertanian. Sayur jenis kubis dan wortel termasuk tanaman yang paling sering ditanam di lahan-lahan tersebut.
Untuk diketahui, sistem perakaran sayur tidak memiliki kemampuan mengikat air dengan baik. Ketika ada hujan, air akan langsung lewat permukaan tanah sambil membawa butiran tanah. Air tidak meresap ke dalam tanah dengan baik sehingga volumenya menjadi besar.
Jika lahan diisi pepohonan, air hujan bisa terserap dengan baik ke dalam tanah. Pasalnya, pohon dikenal memiliki sistem perakaran bagus dan kuat untuk meresap air hujan. Hal ini berbeda jauh dengan sayur karena membuat air berkumpul di permukaan dan ceruk-ceruk kayu bekas kebakaran sehingga terjadi banjir bandang.
"Ini yang perspektif yang harus dibangun oleh semua pihak. Jadi saya kira, saya tidak sepakat kalau menyalahkan sekadar ini curah hujan. Kita itu negara yang ada dua musim, hujan dan kemarau. Tiap tahun pasti ada hujan," ungkapnya.
Menurut Rosek, pemerintah dan masyarakat sudah seharusnya melakukan mitigasi dengan pendekatan konservasi hutan. Sebab, lereng Arjuno pada kenyataannya sudah dipenuhi lahan sayuran mulai dari Sumberbrantas, Cangar sampai kebun teh di Lawang. Pemerintah harus melihat secara langsung kondisi tersebut di lapangan.
Jika pemerintah dan masyarakat tidak pernah naik ke lereng Arjuno, maka pemandangan bukaan lahan di hutan lindung tak akan diketahui. Faktanya, alih fungsi lahan di hutan lindung sudah sangat besar. Kondisi ini tentu akan membahayakan masyarakat mengingat air secara hukum akan mengalir dari atas ke bawah.
Solusi sederhana
Melihat kondisi memprihatikan ini, ProFauna sebenarnya telah melakukan solusi sederhana dengan skala kecil. Yakni, rehabilitasi hutan lindung dengan cara mengalihkan komoditas tanaman dari sayur menjadi pohon buah-buahan. Harapannya, para petani tetap mendapatkan untung secara ekonomi dari panen buah.
ProFauna setidaknya sudah mendampingi tiga kelompok di tiga lokasi di lereng Arjuno. Para petani di wilayah tersebut sudah sepakat dengan melakukan tanda tangan tertulis untuk memulihkan hutan lindung. Mereka mau mengganti lahan sayuran menjadi pohon buah-buahan.
ProFauna dan para petani memprediksi hutan akan pulih sekitar empat sampai lima tahun ke depan. Situasi ini dapat terlaksana karena pertumbuhan pohon itu cepat. Terlebih, ProFauna dan petani menanam pohon alpukat yang dalam lima tahun bisa langsung panen.
Berdasarkan hal tersebut, pemerintah sebenarnya cukup membantu menyediakan bibit-bibit pohon buah ke petani. Sebab, para petani pada dasarnya tidak masalah apabila harus mengganti lahannya dengan pohon buah-buahan. "Cuma mereka masih kesulitan bibit kalau penyediaannya secara mandiri," katanya.
Dari segi pemasukan, menanam pohon buah-buahan sebenarnya lebih menguntungkan dibandingkan sayuran. Hal ini karena menanam sayuran itu seperti 'berjudi'. Harga saat panen sering turun sehingga sering menimbulkan kerugian kepada para petani.
"Contoh sekarang harga kubis terakhir hanya Rp 2 ribu. Padahal itu kalau dihitung biaya perawatan, pestisida, belum lagi kalau dihitung tenaga kerja, itu rugi," kata dia menegaskan.