Pil Antivirus dan Vaksin, 2 Senjata Melawan Covid-19?
Epidemiolog mengatakan vaksin tetap diperlukan meski sudah ada pil antivirus covid-19
REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Kabar baik datang dari dunia medis dan penelitian. Awal Oktober, publikasi dari pil antivirus oral dari Merck & Co dan Pfizer Inc-BioNTech SE menyebut produk tersebut terbukti menumpulkan dampak terburuk Covid-19 jika diminum cukup awal.
Pil antivirus eksperimental Paxlovid mampu mengurangi risiko rawat inap dan kematian akibat Covid-19 sebesar 89 persen pada orang dewasa yang berisiko tinggi. Temuan Pfizer mengikuti hasil dari perusahaan Merck dan Ridgeback Biotherapeutics pada 1 Oktober bahwa obat antivirus oral mereka mengurangi rawat inap dan kematian hingga setengahnya.
Obat buatan Merck yang dikenal sebagai molnupiravir, mendapat persetujuan bersyarat di Inggris pada Kamis lalu. Paxlovid dan Molnupiravir masih membutuhkan izin dari regulator kesehatan AS.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Senin (8/11), menyebut, pihaknya telah mencapai kesepakatan dengan produsen untuk membeli 600 ribu hingga satu juta tablet obat Molnupiravir. Pembelian akan dilakukan pada Desember 2021 sebagai langkah antisipasi gelombang ketiga kasus Covid-19.
Obat tersebut diperuntukkan bagi pasien Covid-19 gejala ringan-hingga sedang. Penggunaan obat ini di luar negeri, kata Budi, berhasil mencegah 50 persen pasien gejala ringan-sedang mengalami pemburukan sehingga tak perlu dirujuk ke rumah sakit.
Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane menilai, rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membeli satu juta tablet obat Covid-19 Molnupiravir tidaklah urgent. Sebab, pasien bergejala ringan tak membutuhkan obat.
Menurut dia seharusnya Kemenkes fokus menyediakan obat untuk pasien bergejala berat sehingga bisa mengurangi angka kematian.Masdalina menjelaskan, pasien dengan gejala ringan tak memerlukan obat untuk pulih dari infeksi korona. Pemulihannya cukup dengan menjaga pola makan, jangan stres, olahraga, dan tingkatkan imun dengan meminum suplemen. Jika gejala memburuk, segera rujuk ke rumah sakit.
"Jadi, tidak ada urgensinya orang tanpa gejala dan gejala ringan diberi obat itu (Molnupiravir)," kata Masdalina kepada Republika.co.id, Senin (8/11).
Terbaru, peneliti di China berhasil mengembangkan obat covid-19. Beberapa obat antibodi yang menetralisir virus muncul sebagai kandidat yang menjanjikan dalam uji klinis.
Menurut ahli biokimia Sunney Xie, tim peneliti telah menemukan antibodi penetral spektrum penuh yang telah menangani semua varian baru yang diketahui dalam eksperimen laboratorium. Antibodi ini dikenal DXP-604, yang sangat kuat sehingga kemungkinan akan mengobati mutasi Covid-19 apapun.
Sebelumnya, perusahaan farmasi multinasional China dan AS Brill Biosciences baru-baru ini juga mengumumkan telah mengajukan Aplikasi untuk otorisasi penggunaan darurat dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika (FDA) untuk terapi yang menggabungkan dua antibodi penetral, yaitu BRII-196 dan BRII-198.
Brii Biosciences mengatakan hasil uji klinis fase ketiga di luar negeri telah menunjukkan bahwa obat tersebut dapat mengurangi risiko rawat inap dan kematian dari pasien Covid-19 hingga 78 persen. Banyak peserta yang terdaftar dalam uji coba yang dilaporkan terinfeksi dengan varian Delta.
Hong Zhi, ketua dan kepala eksekutif perusahaan, mengatakan bahwa sementara ini vaksinasi tetap menjadi senjata utama dalam melawan virus corona baru. Terapi antibodi memicu respons imun lebih cepat dan merupakan pengobatan yang paling tepat bagi pasien Covid-19, termasuk yang belum mengalami gejala apapun.
Sejak Juni, hampir 700 pasien Covid-19 di China telah menerima obat tersebut. Laporan pihak berwenang medis menunjukkan bahwa obat itu aman dan menunjukkan efek anti-virus yang baik pada berbagai varian yang muncul.
"Vaksin dan terapi antibodi adalah dua senjata yang saling melengkapi," jelas Zhang Linqi, profesor di Fakultas Kedokteran Universitas Tsinghua.
Peringatan dari pakar kesehatan
Pakar kesehatan memperingatkan masyarakat tetap mengikuti program vaksinasi meski pil anti Covid-19 sudah tersedia. "Dengan hanya mengandalkan obat antivirus, ini seperti bertaruh. Jelas, ini akan lebih baik daripada tidak sama sekali, tetapi ini adalah permainan berisiko tinggi untuk dimainkan," kata profesor virologi molekuler dan mikrobiologi Baylor College of Medicine, Peter Hotez, dilansir dari Reuters pada Selasa (9/11).
Peneliti mengatakan beberapa orang yang tidak divaksinasi telah mengandalkan antibodi monoklonal sebagai penghalang jika mereka terinfeksi.
Salah satu alasan tidak bergantung pada pil baru karena obat antivirus harus diberikan secepatnya karena Covid-19 memiliki fase berbeda. Ini karena fungsi obat itu menghentikan replikasi virus di dalam tubuh.
Pakar penyakit menular Celine Gounder menjelaskan pada fase pertama, virus dengan cepat bereplikasi di dalam tubuh. Namun, banyak efek terburuk dari Covid-19 terjadi pada fase kedua timbul dari rusaknya respons imun yang dipicu oleh replikasi virus.
"Begitu Anda mengalami sesak napas atau gejala lain yang akan membuat Anda dirawat di rumah sakit, Anda berada dalam fase kekebalan disfungsional di mana antivirus benar-benar tidak akan memberikan banyak manfaat," kata Gounder.